BAB I
Manusia dalam pandangan Islam
A. Pengantar
Manusia adalah makhluk Allah SWT yang mulia. Mulia dari proses penciptaannya sampai dengan akhir hayatnya. Saat diciptakannya manusia terlebih dahulu Allah SWT menyampaikannya kepada para malaikat dan iblis. Penyampaian tersebut tentu bukan dalam arti meminta ijin melainkan memberikan kabar tentang rencana besar Allah SWT tersebut. Ternyata para malaikat langsung taat sedangkan iblis yang membantahnya.
Rencana besar Allah SWT ingin menciptakan manusia mendapat sambutan negatif dari kaum iblis karena tampaknya iblis merasa tersaingi keberadaannya sampai diadakan lomba pengetahuan antara Adam as dengan mereka. Pada babak ini tampak sekali bahwa Allah SWT berkehendak memuliakan manusia dari makhluk lainnya. Namun kita harus menyadari bahwa kemuliaan itu tentu tidak mudah kita raih karena banyak ujian yang harus dilalui. Ada baiknya jika kita berusaha untuk memahami manusia dari asal usulnya dan dengan harapan kita dapat melalui ujian-ujian itu dengan baik dan lulus.
B. Hakekat Manusia
Ketika kita ingin mengetahui hakekat manusia, maka langkah yang perlu ditempuh adalah mengetahui padanan-padanan kata yang mengacu pada definisi manusia. Sumber hukum yang pertama bagi umat Islam yakni Al-Qur’an banyak mengungkap padanan kata manusia, di antaranya: al-Nas, insan, basyar, dan dzurriyat adam.
Moechidin (2006:1), mengungkapkan bahwa Al-Nas terkait dengan kata insan yang senada dengan nasia, nasaa dan tanaasaa. Nasia berarti lupa. Realita kehidupan kita merupakan saksi nyata bahwa dalam mengarungi kehidupan manusia pasti mengalami lupa. Memang unik, karena lupa di satu sisi disebut oleh kita sebagai kelemahan manusia, namun di sisi lain lupa adalah anugerah dan rahmat Allah SWT yang harus kita syukuri.
Lupa yang dikategorikan sebagai kelemahan adalah bila kita lupa dalam hal-hal yang tidak patut untuk dilupakan seperti lupa terhadap janji, lupa terhadap eksistensi Allah SWT, lupa terhadap kewajiban kita baik kewajiban terhadap Allah SWT atau kewajiban sesama manusia.
Namun ada lupa yang merupakan anugerah atau rahmat Allah SWT, yakni apabila kita lupa terhadap sesuatu yang sudah seharusnya kita harus lupa, seperti: lupa terhadap seseorang yang harus dilupakan, lupa terhadap peristiwa yang menyakitkan, lupa terhadap perbuatan baik kita sehingga kita tidak menghitung-hitung kebaikan yang telah kita lakukan.
Menurut A. Syamsuri Siddiq (1976:52) orang yang lupa terhadap tugas dan kewajiban (taklif) Allah SWT, atau terhadap sesama hamba-Nya maka ia tentu akan dapat dimaafkan, namun jika disengaja maka baginya akan mendapat sanksi dari pemberi tugas tersebut. Karena melupakan terhadap tugas dan kewajiban berarti ia membangkang atasnya, maka baginya pantas dan layak mendapat sanksi. Allah SWT berfirman QS.Al-Ahzab:5
öNèdqãã÷Š$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& y‰ZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä Nà6çRºuq÷zöÎ*sù ’Îû ÈûïÏe$!$# öNä3‹Ï9ºuqtBur 4 }§øŠs9ur öNà6ø‹n=tæ Óy$uZã_ !$yJ‹Ïù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy‰£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%Ÿ2ur ª!$# #Y‘qàÿxî $¸JŠÏm§‘ ÇÎÈ
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu[Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang Telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah]. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Penguat atas dasar pemikiran tersebut juga diberikan penjelasan oleh sabda Rasulullah Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Thabrany,
“telah diangkat dosa (tidak berdosa) dari umatku yang berbuat sesuatu karena khilaf, lupa, dan terpaksa atasnya”.
Orang yang lupa sama saja dengan orang yang pingsan/mabuk ia dalam posisi tidak sadar, sehingga ia masuk dalam kategori yang ma’fu atas segala sesuatu yang ia kerjakan.
Suatu keadilan yang Maha Adil dari Allah SWT, karena bagaimana mungkin Syari’ / Khatib (Allah SWT) pembuat Syariat/pemberi titah memberikan sanksi atas sesuatu yang dikerjakan oleh penerima taklif jika dalam kondisi yang tidak sadar atau atas dasar pikiran sehatnya. Lain halnya dengan hukum yang dibuat manusia secara umum telah dapat kita saksikan bahwa nyaris belum dapat kita lihat “keadilan” karena hakimnya juga manusia bukan Allah SWT dari dzat yang Maha ‘Adil.
Berdasar dari uraian di atas, tampak jelas keunikan manusia yang mempunyai dua dimensi kehidupan, keduanya bisa dipandang sebagai kebaikan sekaligus sebagai kelemahan. Lupa yang merupakan kelemahan kita, harus dapat kita “minimize-kan”, sedangkan lupa yang merupakan anugerah harus kita perkuat. Alat yang dapat dijadikan sebagai penyeimbang antara keduanya adalah dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui dzikir.
Sedangkan nasaa dan tanaasaa berarti melupakan atau berpura-pura lupa. Gejala ini juga tidak mungkin bisa kita lepaskan. Dalam kehidupan seringkali kita melupakan sesuatu. Melupakan ada yang bermakna positif dan ada pula yang bermakna negatif. Kalau melupakan sesuatu yang harus dilupakan tentu menjadi kebaikan, sebagaimana yang dijelaskan di atas, namun melupakan sesuatu yang tidak patut dilupakan itu adalah keburukan. Contoh, melupakan kebaikan orang lain adalah merupakan keburukan karena akan menimbulkan rasa congkak dan sombong. Begitu pula dengan melupakan nikmat Allah SWT yang harus kita syukuri.
Zulkabir, dkk (1993: 52-54) mendefinisikan Insan merupakan konsep manusia sebagai makhluk pribadi dan berwatak ruhani (QS.96:1-5) sekaligus sebagai pemikul amanat Allah SWT (QS.33:72), namun harus berhati-hati karena mempunyai musuh syaithan (QS.17:53). Ayat-ayat tersebut adalah:
ù&t�ø%$# ÉOó™$$Î/ y7În/u‘ “Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&t�ø%$# y7š/u‘ur ãPt�ø.F{$# ÇÌÈ “Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca], Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
$¯RÎ) $oYôÊt�tã sptR$tBF{$# ’n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur šú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts† z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_ ÇÐËÈ
“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat[tugas-tugas keagamaan] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,”(QS. al-Ahzab:72).
@è%ur “ÏŠ$t7ÏèÏj9 (#qä9qà)tƒ ÓÉL©9$# }‘Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) z`»sÜø‹¤±9$# éøu”\tƒ öNæhuZ÷�t/ 4 ¨bÎ) z`»sÜø‹¤±9$# šc%x. Ç`»|¡SM~Ï9 #xr߉tã $YZ�Î7•B ÇÎÌÈ
“Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
Sebagai makhluk pribadi dan berwatak ruhani sebagaimana yang terungkap di antaranya pada ayat 1-5 surat al-‘Alaq adalah bahwa pada ayat-ayat tersebut Syari’ memberikan taklif secara pribadi kepada manusia untuk membaca. Kegiatan membaca yang terdapat pada ayat tersebut adalah dilakukan selain pribadi sifatnya dalam mengembangkan pengetahuannya sekaligus juga bersifat ruhani. Sifat ruhani yang ditunjukkan pada ayat tersebut Allah SWT menuntut manusia ketika membaca haruslah dilandasi karena Allah SWT semata. Begitu pula pada ayat berikutnya yang mengungkapkan taklif membaca sekaligus pernyataan kemuliaan akan Tuhan (Allah SWT) sebagai Rab yang disebut sebelumnya.
Manusia adalah makhluk yang mau menerima amanat namun banyak pula yang tidak mau melaksanakan amanat tersebut. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Ahzab:72, di atas.
M. Quraish Shihab (2002:331-336) Pelajaran yang dapat kita ambil dalam ayat tersebut adalah bahwa manusia merupakan makhluk terakhir yang mau tidak mau harus mau menerima amanat tersebut, sekalipun tawaran akan amanat itu boleh diterima atau ditolak. Penolakan atas makhluk lain yang disebut di atas terhadap amanat tersebut karena mereka bukanlah makhluk yang dapat memikul amanat tersebut. Sementara penyerahan amanat itu kepada manusia karena manusia merupakan makhluk yang memiliki potensi untuk menunaikan amanat itu dengan baik dan karena Allah SWT manusialah yang diberi potensi untuk melaksanakan amanat itu dengan sebaik-baiknya. Selain itu, manusia lah yang mempunyai sifat ‘adil dan ilmu dari anugerah Allah SWT. Jika manusia dapat mengetahui ilmu atas tugas-tugas keagamaan (amanat) yang diberikan Allah SWT dan dapat berbuat ‘adil maka manusia tersebut akan memperoleh maqam yang mulia, sebaliknya jika tidak maka mereka diberi kesempatan untuk bertaubat sebelum akhir hayatnya. Manusia yang tidak dapat melaksanakan amanat itu tentu ada sebab, karena pada dasarnya amanat ini adalah ujian untuk mencari manusia-manusia yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa adalah musuh syaithan, karena itu manusia harus berhati-hati dalam mengemban amanat tersebut, jangan sampai terjerumus dengan godaan syaithan yang berarti dzalim atas amanat tersebut.
Pengemban amanat di antara sesama manusia adalah sesuatu yang rentan dengan perselisihan. Bahkan, pada saat ini merupakan tugas yang menjadi “rebutan” dan diperoleh tidak sedikit dengan jalan yang bertentangan dengan ajaran Pemberi amanat yang hakiki yakni Allah SWT. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, jika kondisi masyarakat kita menjadi bertambah kacau dengan perasaan hasud, dengki, dan berujung pada pertumpahan darah. Peran serta syaithan dalam mempengaruhi manusia untuk tidak melaksanakan amanat Allah SWT sangatlah besar. Syaithan mengganggu manusia dari segala penjuru kelemahan masing-masing manusia, ada yang melalui wanita, harta, atau juga dengan perkataan. Di antara yang menggunakan jalur perkataan, maka syaithan berusaha agar perkataan-perkataan yang diungkapkan oleh manusia dapat menimbulkan perselisihan di antara mereka. Hal tersebut dinyatakan dengan shorih dalam al-Qur’an surat al-Isra/17:53,
@è%ur “ÏŠ$t7ÏèÏj9 (#qä9qà)tƒ ÓÉL©9$# }‘Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) z`»sÜø‹¤±9$# éøu”\tƒ öNæhuZ÷�t/ 4 ¨bÎ) z`»sÜø‹¤±9$# šc%x. Ç`»|¡SM~Ï9 #xr߉tã $YZ�Î7•B ÇÎÌÈ
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh syaitan itu (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sungguh syaitan adalah musuh yang nyata bagi manusia”.
Dengan demikian jelaslah bahwa manusia akan dapat memikul amanat itu dengan baik ketika manusia beriman, dekat kepada Allah SWT, dan selalu menggunakan akal pikirannya untuk menemukan petunjuk-Nya. Sihabudin Ahmad (T.th.6) menyatakan bahwa sungguh beruntung bagi siapa saja yang menjadikan akalnya sebagai pemimpin atas hawa nafsunya, dan celakalah bagi siapa saja yang menjadikan hawa nafsunya sebagai pemimpin atas akal pikirannya. Selanjutnya beliau menyampaikan lagi, sesungguhnya kecenderungan hati yang negatif (hawa nafsu/syahwat) menjadikan seorang raja sebagai hamba dan sesungguhnya sabar itu menjadikan seorang raja sebagai raja.
Muslim Nurdin, dkk (1995:17-18) mengartikan an-Nâs merujuk adanya kelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya, antara lain tentang peternakan (QS.al-Qashash/28:23), penghambaan diri kepada Allah SWT (QS.2:21).
$£Js9ur yŠu‘ur uä!$tB šútïô‰tB y‰y`ur Ïmø‹n=tã Zp¨Bé& šÆÏiB Ĩ$¨Y9$# šcqà)ó¡o„ y‰y_urur `ÏB ãNÎgÏRrߊ Èû÷üs?r&t�øB$# Èb#yŠrä‹s? ( tA$s% $tB $yJä3ç7ôÜyz ( $tGs9$s% Ÿw ’Å+ó¡nS 4Ó®Lym u‘ωóÁムâä!$tãÌh�9$# ( $tRqç/r&ur Ó‡ø‹x© ׎�Î7Ÿ2 ÇËÌÈ
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat at begitu)?" kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang Telah lanjut umurnya".
An-Nâs merupakan gambaran bahwa manusia adalah makhluk Allah SWT yang dapat memegang amanat-Nya dengan baik. Di antara indikatornya adalah bahwa mereka dapat memelihara dan mengembangkan makhluk Allah SWT yang lainnya, dalam hal memberikan makan dan minum terhadap hewan ternaknya, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. 28:23 di atas,
Dalam rangka melaksanakan amanat Allah SWT, di antaranya yakni untuk menjadi khalifah dalam hal memakmurkan bumi dan penghuninya, maka manusia haruslah beraktifitas yang membawa manfaat bagi dirinya dan makhluk Allah SWT lainnya. Peternakan adalah salah satu bentuk aktifitas yang menghasilkan banyak manfaat bagi kehidupan manusia.
Pelajaran yang dapat diambil dari aktifitas kelompok manusia yang mengembangkan peternakan di antaranya bagi manusia itu sendiri selain mendatangkan manfaat secara langsung melalui air susu dan daging, mereka juga berlatih untuk mendidik dirinya menjadi manusia yang sabar di saat mengembalakan ternaknya. Begitu pun yang pelajaran yang dapat kita petik dari kisah calon para rasul di saat menjadi pengembala.
Selain itu, di dalam ayat tersebut menggambarkan suatu bentuk antrian yang teratur ketika ada orang lain yang sedang melakukan aktifitas. Mereka sadar, bahwa dalam suatu komunitas banyak orang lain yang memang mempunyai kebutuhan yang sama. Kebutuhan yang sama tersebut, akan diperoleh dengan baik manakala di antara manusia tersebut menyadari bahwa orang lain pun membutuhkan sesuatu yang sedang dibutuhkan dirinya sehingga ia sadar untuk berbagi di antara mereka.
$pkš‰r'¯»tƒ â¨$¨Y9$# (#r߉ç6ôã$# ãNä3/u‘ “Ï%©!$# öNä3s)n=s{ tûïÏ%©!$#ur `ÏB öNä3Î=ö6s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇËÊÈ
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”
Di samping itu, an-Nâs mengandung pengertian yang berhubungan dengan penghambaan diri kepada Allah SWT, sebagaimana ditunjukkan dalam QS.2:21. Dalam firman tersebut manusia diperintahkan untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT agar ia menjadi taqwa. Penghambaan diri kepada Allah SWT menuntut bahwa; dirinya dan segala yang ada dalam genggamannya bukanlah milik pribadinya akan tetapi milik dzat yang patut disembah, segala aktifitasnya berkisar pada apa yang diperintahkan dan menghindar atas apa yang dilarangnya, dan tidak memastikan suatu aktifitas terjadi kecuali atas qudrat dan iradatnya.
Sedangkan basyar menurut Musa Asy’ari (1992: 34) menyatakan sebagaimana terdapat di dalam al-qur’an menunjuk pada pengertian manusia dalam bentuk pisik atau jasadnya, seperti dorongan untuk makan, minum, (QS.23:33-34,5:18), bersetubuh (QS.19:20,3;47), dan akhirnya mati sebagai akhir kegiatannya di dunia (QS.21:34-35).
Manusia dalam merealisasikan amanatnya itu maka mereka haruslah menjadi pribadi yang sehat baik sehat jasmani maupun rukhani. Sehat jasmani diperlukan makanan dan minuman yang dapat halal, baik, dan bergizi. Dorongan makan atau minum dapat menjadikan manfaat sekaligus memungkingkan terjadinya madzarat.
tA$s%ur _|yJø9$# `ÏB ÏmÏBöqs% tûïÏ%©!$# (#rã�xÿx. (#qç/¤‹x.ur Ïä!$s)Î=Î/ Íot�ÅzFy$# öNßg»oYøùt�ø?r&ur ’Îû Ío4quŠptø:$# $u‹÷R‘‰9$# $tB !#x‹»yd žwÎ) ׎|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB ã@ä.ù'tƒ $£JÏB tbqè=ä.ù's? çm÷ZÏB ÛUt�ô±o„ur $£JÏB tbqç/uŽô³n@ ÇÌÌÈ
“Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia: "(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum”.(QS.23:33)
Berkaitan dengan makanan dan minuman Allah SWT sangat tegas mengharamkan memakan dan meminum sesuatu yang haram karena bukan saja akan mempengaruhi jasadnya tetapi juga mempengaruhi rukhaninya. Di antara makanan yang diharamkan di dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah:173 dan al-‘Araf:157 berikut :
$yJ¯RÎ) tP§�ym ãNà6ø‹n=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur Í�ƒÌ“YÏ‚ø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽö�tóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §�äÜôÊ$# uŽö�xî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmø‹n=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Ö‘qàÿxî íOŠÏm§‘ ÇÊÐÌÈ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
tûïÏ%©!$# šcqãèÎ7Ftƒ tAqß™§�9$# ¢ÓÉ<¨Z9$# ¥_ÍhGW{$# “Ï%©!$# ¼çmtRr߉Ågs† $¹/qçGõ3tB öNèdy‰YÏã ’Îû Ïp1u‘öqG9$# È@‹ÅgUM}$#ur Nèdã�ãBù'tƒ Å$rã�÷èyJø9$$Î/ öNßg8pk÷]tƒur Ç`tã Ì�x6YßJø9$# ‘@Ïtä†ur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh‹©Ü9$# ãPÌh�ptä†ur ÞOÎgøŠn=tæ y]Í´¯»t6y‚ø9$# ßìŸÒtƒur öNßg÷Ztã öNèduŽñÀÎ) Ÿ@»n=øñF{$#ur ÓÉL©9$# ôMtR%x. óOÎgøŠn=tæ 4 šúïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä ¾ÏmÎ/ çnr⑨“tãur çnrã�|ÁtRur (#qãèt7¨?$#ur u‘q‘Z9$# ü“Ï%©!$# tAÌ“Ré& ÿ¼çmyètB y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÎÐÈ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung”.(QS. Al-‘Araf:157)
selain dari ayat tersebut, Nabi Muhammad SAW berwasiat terhadap ‘Ali bin Abi Thalib, “siapa saja yang makan makanan yang haram maka hatinya mati”. Sihabuddin Ahmad,(T.th:6) menyatakan bahwa:
“siapa saja yang meninggalkan dosa maka menjadi tipislah hatinya (mudah untuk menerima nasihat dan berlaku khusyu’) dan siapa saja yang meninggalkan makanan dan minuman yang haram dengan memakan meminum sesuatu yang halal maka jernihlah pikirannya”.
Jika jasad membutuhkan makanan dan minuman yang bersifat material, ruhani membutuhkan makanan yang bersifat ruhani pula. Di antara makanan ruhani adalah dzikir kepada Allah SWT. Berdzikir adalah salah satu metode untuk menenangkan ruhani kita, tentu jika dijalankan sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Manusia yang selalu dzikir kepada Allah SWT maka hatinya dan jiwanya menjadi tentram karena berada dalam naungan nur ilahi.
Dzikir adalah perbuatan manusia yang harus dilakukan setiap saat dan di mana saja. Dzikir bukan hanya dzikir lafdziah / lisan akan tetapi semua jasad dan ruh kita berdzikir kepada Allah SWT. Manusia yang melakukan dzikir dengan haqiqi maka ia selalu dalam perlindungan-Nya. Orang yang dalam lindungan-Nya, maka ia adalah orang yang disebut dengan taqwa.
Dengan paparan definisi manusia sebagaimana yang di atas, maka siapakah manusia itu? Manusia adalah satu di antara makhluk Allah SWT yang diciptakan dari “turab” yang diberikan akal untuk bekal bagi pengembangan diri dalam rangka menjalankan amanat sebagai khalifah.
Dalam menjalankan amanat sebagai khalifah manusia harus selalu taat kepada Allah SWT. Ajaran Islam yang berkaitan dengan khalifah sangat jelas mengatur tanggungjawab seorang pemimpin. Di antara tugas tanggungjawab pemimpin yakni berbuat adil dalam memutuskan perkara (QS.al-Maidah:42, Shad:26),
šcqã軣Jy™ É>É‹s3ù=Ï9 tbqè=»ž2r& ÏMós�¡=Ï9 4 bÎ*sù x8râä!$y_ Nä3÷n$$sù öNæhuZ÷�t/ ÷rr& óÚÍ�ôãr& öNåk÷]tã ( bÎ)ur óÚÌ�÷èè? óOßg÷Ytã `n=sù x8r•ŽÛØo„ $\«ø‹x© ( ÷bÎ)ur |MôJs3ym Nä3÷n$$sù NæhuZ÷�t/ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# �=Ïtä† tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÍËÈ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram[seperti uang sogokan dan sebagainya]. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”
ߊ¼ãr#y‰»tƒ $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ Zpxÿ‹Î=yz ’Îû ÇÚö‘F{$# Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ Ÿwur ÆìÎ7®Ks? 3“uqygø9$# y7¯=ÅÒãŠsù `tã È@‹Î6y™ «!$# 4 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbq�=ÅÒtƒ `tã È@‹Î6y™ «!$# öNßgs9 Ò>#x‹tã 7‰ƒÏ‰x© $yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqtƒ É>$|¡Ïtø:$# ÇËÏÈ
“Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Bertindak sebagai pemimpin yang tawadhu’ terhadap bawahan (QS. Asyu’araa:215), memeriksa kondisi bawahan dan perbendaharaan (QS.an-Naml:20).
ôÙÏÿ÷z$#ur y7yn$uZy_ Ç`yJÏ9 y7yèt7¨?$# z`ÏB šúüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÊÎÈ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.”
y‰¤)xÿs?ur uŽö�©Ü9$# tA$s)sù $tB ~†Í< Iw “u‘r& y‰èdô‰ßgø9$# ÷Pr& tb%Ÿ2 z`ÏB šúüÎ7ͬ!$tóø9$# ÇËÉÈ
“Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: "Mengapa Aku tidak melihat hud-hud[sejenis burung pelatuk], apakah dia termasuk yang tidak hadir.
Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata: "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim"(QS.al-A’raf:150)
$£Js9ur yìy_u‘ #Óy›qãB 4’n<Î) ¾ÏmÏBöqs% z`»t7ôÒxî $ZÿÅ™r& tA$s% $yJ|¡ø¤Î/ ’ÎTqãKçFøÿn=yz .`ÏB ü“ω÷èt/ ( óOçFù=Éftãr& z�öDr& öNä3În/u‘ ( ’s+ø9r&ur yy#uqø9F{$# x‹s{r&ur Ĩù&t�Î/ Ïm‹Åzr& ÿ¼çn”�ègs† Ïmø‹s9Î) 4 tA$s% tûøó$# ¨Pé& ¨bÎ) tPöqs)ø9$# ’ÎTqàÿyèôÒoKó™$# (#rߊ%x.ur ÓÍ_tRqè=çGø)tƒ Ÿxsù ôMÏJô±è@ š†Î1 uä!#y‰ôãF{$# Ÿwur ÓÍ_ù=yèøgrB yìtB ÏQöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÊÎÉÈ
C. Tanggung Jawab Manusia
Sebagai makhluk yang memegang amanat terbesar dari Allah SWT, maka ia harus mempertanggungjawabkan amanat tersebut baik kepada pemberi amanat yang mutlak yakni Allah SWT maupun amanat yang diberikan dari sesama makhluk. Bentuk tanggung jawab tersebut berupa kesiapan diri untuk menerima dampak atau akibat dari kepemimpinannya itu.
D. Martabat Manusia
Manusia di sisi Allah SWT adalah makhluk yang diciptakan dalam bentuk yang sempurna. Di damping kelemahan-kelemahan yang dimiliki manusia sebenarnya lah kelebihan itu sudah diberikan kepada manusia. Satu di antara tanda bahwa manusia mempunyai derajat yang besar dan mulia adalah sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Israa : 70 berikut ini,
ô‰s)s9ur $oYøB§�x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur ’Îû ÎhŽy9ø9$# Ì�óst7ø9$#ur Nßg»oYø%y—u‘ur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4’n?tã 9Ž�ÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs? ÇÐÉÈ
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS.Al-Israa:70).
Masalah yang muncul kemudian adalah sanggupkah manusia untuk dapat mempertahankan posisi yang mulia tersebut. Dalam alam nyata kita dapat saksikan suatu jabatan yang dianggap mulia oleh manusia saja banyak tantangan yang dihadapi oleh seluruh manusia untuk dapat mempertahankannya. Pada jaman Rasulullah Muhammad SAW, saja melalui sejarah Islam atau Tarikh kita mafhum bahwa dalam rangka mempertahankan amanat yang Allah SWT berikan dalam menyebarkan ajaran Islam ditawarkan kepada tiga hal, yakni wanita, harta, dan tahta. Jika seorang manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT pastilah ia beriman dan beramal sholih, maka ia ada dalam lindungan Allah SWT sehingga akan tetap menjadi mulia baik di sisi manusia dan juga Allah SWT. Namun, jika tidak maka Allah SWT akan mengembalikan derajat yang mulia tersebut bagi manusia kepada derajat yang terhina, sebagaimana yang kita dapat saksikan orang-orang di sekitar kita. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam QS. Ath-Thin:4-5.
ô‰s)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þ’Îû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ ¢OèO çm»tR÷ŠyŠu‘ Ÿ@xÿó™r& tû,Î#Ïÿ»y™ ÇÎÈ
“sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).
Akar masalah yang sebenarnya apakah manusia dapat mempertahankan kemuliaan yang Allah SWT berikan atau tidak adalah peran serta akal sehat kita. Manusia akan mencapai kemuliaan yang sempurna ketika ia telah dapat mengendalikan hawa nafsunya. Namun sebaliknya ia akan menjadi hina ketika tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya dan menjadikan hawa nafsunya sebagai raja. Sihabudin Ahmad (T.th:6), “Sesungguhnya syahwat itu membuat raja menjadi hamba, sedangkan sabar membuat hamba menjadi raja”. Pada pernyataan lain, sungguh beruntung bagi setiap orang yang menjadikan akalnya menjadi pemimpin atas hawa nafsunya, dan celakalah bagi setiap orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai pemimpin atas akalnya.
Sebenarnya kemulian manusia yang disandangnya itu terkait dengan tanggungjawab yang dipikul oleh manusia itu sendiri. Taklif yang diberikan oleh Allah SWT tidaklah ringan, terbukti bahwa makhluk lain tidak sanggup untuk meneriman taklif sebagai khalifah, sebagaimana diungkatkan di atas.
Beban yang terima oleh manusia dari Allah berupa khalifah itu yang menuntut manusia untuk dapat melaksanakan amanah yang berat itu. Namun demikian, Allah SWT telah mempersiapkan bekal yang cukup untuk menjadi khalifah yakni dengan diberikannya akal sebagai mesin untuk berpikir dalam rangka mengembangkan dan memelihara serta menjadikan amanah tersebut menjadi rahmat al-alamin.
Selain mesin manusia yakni akal kemudian Allah SWT pun memberikan bekal lain yakni bahan baku yang akan dijadikan media untuk melakukan amanah itu yaitu alam raya. Alam raya yang dimaksud disini tentu bukanlah manusia tetapi makhluk Allah SWT selain manusia yaitu dari jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan. Jika manusia dapat mengolah alam raya sesuai amanat yang Allah SWT taklifkan kepadanya maka tentu alam raya menjadi stabil dan manusia yang memanfaatkannya akan memperoleh kebahagiaan dan kedamaian hidup di dunia.
Kejadian bencana yang terus manusia alami, hakikatnya adalah karena manusia belum dapat memenuhi tuntutan Allah SWT amanah yang diberikannya. Kerusakan yang terjadi di alam raya ini adalah hasil ulah tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Sebenarnya kejadian-kejadian yang demikian, memberikan pelajaran bagi kita semua untuk tidak mengulangi lagi membuat kerusakan di muka bumi ini. Namun sebagaimana dinyatakan Sihabudin Ahmad di atas, kebanyakan manusia lebih memperturutkan hawa nafsunya, akibatnya kiamat-kiamat sughra terjadi dan pada giliran kelak sesuai waktu yang ditentukan-Nya kiamat kubra pun terjadi pula.
Manusia dalam rangka memperbaiki tanggungjawab atas amanah yang diterimanya, tentu harus berpikir ulang untuk mengkaji kembali tujuan hidup baginya. Tujuan hidup bagi seseorang sangat mempengaruhi proses perjalanan hidupnya. Karena bagi mereka yang mempunyai tujuan hidup hartawi, maka dalam hidupnya yang dikejar adalah memperoleh harta bahkan mungkin akan melalaikan kepentingan dan ketentuan agama.
E. Tujuan Hidup Manusia
Tujuan manusia dalam konstek umum adalah memperoleh kebahagiaan hidup. Islam memberikan arahan kepada pengikutnya bahwa tujuan hidup manusia adalah mendapat ridho Allah SWT yang hakikatnya adalah kebahagiaan hidup di dunia kini dan akhirat nanti.
Pada umumnya di lingkungan kita banyak yang menyatakan bahwa tujuan hidup muslim adalah syurga, sehingga dalam segala aktifitasnya tertuju memperoleh pahala dan akhirnya pahala tersebut dijadikan tiket untuk memasuki syurga. Namun bagi saudara-saudara kita yang mempunyai kadar keikhlasan yang tinggi tentu lah bukan syurga yang diharapkan akan tetapi ridho Allah SWT sebagai tujuan akhir hidupnya.
F. Evaluasi
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah dengan jawaban yang benar!
1. Jelaskan pengertian manusia menurut bahas dan menurut dalil naqli agama Islam!
2. Jelaskan pengertian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar