Jumat, 08 Januari 2010

PAI 1 bab 6

BAB VI

Politik dalam Islam

A. Pengantar

Islam adalah agama yang universal, karena itu masalah-masalah yang ada dalam masyarakat sudah barang tentu diatur di dalam ajaran Islam. Namun, dengan keijmalannya itu, banyak kaum muslim sendiri yang menjadikannya ikhtilaf, apakah politik diatur atau tidak dalam ajaran Islam? Karena secara eksplisit, Nabi Muhammad SAW tidak mengajarkan tentang politik.

Perbedaan pendapat itu, bukan saja pada masalah diajarkannya atau tidak politik pada jaman Rasulullah SAW, akan tetapi juga berkaitan dengan masalah khilafah al-Islamiyah. Jika ada, bagaimanakah politik jaman Rasulullah Muhammad SAW?

Pada awal perkembangan Islam, yakni jaman Nabi Muhammad SAW, tidak tampak secara jelas tentang politik Islam di dunia apalagi di Indonesia. Pada saat itu, Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul sekaligus sebagai pimpinan negara melekat tanggungjawab sebagai pemakmur alam raya.

Kira-kira, pada saat sahabat Utsman menjadi khalifah mulai bergejolak di antara kaum muslim pada saat itu tentang siapakah yang seharusnya menggantikan Umar bin Khattab ra. Pada saat inilah tampaknya awal mula pertumbumbuhan politik Islam atau dalam bahasa lain umat Islam berpikir tentang pemindahan kekuasaan yang identik dengan politik.

B. Pandangan Politik dalam Islam

Berlatar belakang pengantar di atas, maka pada era modern ini banyak orang memperbincangkan mengenai politik Islam. Untuk lebih mengarahkan pada perbincangan kita tentunya, kita harus dapat memahami apakah yang dimaksud dengan politik Islam? Ahmad Ali Nurdin mengutif

Guilain Denoeux, dalam tulisannya The Forgotten Swamp: Navigating Political Islam, Middle East Policy, vol. 9 (June 2002), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan politik Islam adalah bentuk gerakan yang dilancarkan oleh individu, kelompok atau organisasi yang mempunyai tujuan politik atas nama Islam. Artinya, semua gerakan baik itu yang radikal, moderat atau liberal sekalipun, ketika memperjuangkan kepentingan politiknya dengan mengatas namakan Islam disebut dengan politik Islam.

Pengertian tersebut di atas menggambarkan bahwa umat Islam tidak seharusnya lari dari politik. Namun tentu harus berpegang pada ruh atau nilai-nilai Islam dalam menjalankan politiknya. Untuk dapat mengetahui politik secara Islam ada baiknya kita harus memahami politik Islam dengan pandangan yang universal bukan dari segi penafsiran terhadap Islam, atau setidaknya kita memahami perkembangan politik secara umum.

Untuk mengkaji tentang politik Islam yang sudah seharusnya kita mengkaji dahulu tentang sistem politik natural–sebuah dunia anarkis, tak berperadaban, dan primitif. Dalam kelompok ini yang paling kuat menguasai kelompok yang lemah. Tidak ada hukum; yang ada hanya tradisi. Tidak ada pemerintahan; yang ada hanya pemimpin-pemimpin suku yang ditaati selama mereka dianggap sebagai yang terkuat.

Selanjutnya sistem politik kedua, yang diperintah oleh seorang pangeran atau raja yang titahnya dipandang sebagai hukum. Karena hukum ditetapkan dengan kehendak sewenang-wenang penguasa, dan rakyat mentaatinya semata dengan keharusan dan paksaan, sistem ini juga dipandang sebagai bentuk tirani dan tidak memperoleh legitimasi.

Sistem politik yang ketiga adalah sistem yang paling baik, yaitu sistem khilafah, yang didasarkan pada Syariat yang didasarkan pada batang tubuh hukum agama Islam yang dilandaskan pada Alquran dan sunnah Rasul. Menurut para ahli hukum Muslim, hukum Syariat memenuhi syarat keadilan dan legitimasi, mengikat rakyat termasuk para penguasa. Karena ia didasarkan pada aturan hukum dan menolak otoritas manusia atas manusia lainnya, sistem khilafah dipandang lebih unggul dari pada sistem lainnya.

Untuk mendukung aturan hukum dan pemerintahan yang tidak tak terbatas, para ulama klasik menganut unsur-unsur inti yang dipraktikkan dalam sistem demokrasi modern. Namun, pemerintahan yang tidak tak terbatas dan aturan hukum hanyalah dua unsur dari sebuah sistem pemerintahan yang saat ini memiliki klaim legitimasi yang paling meyakinkan. Kekuatan moral demokrasi terletak pada gagasan bahwa warga negara sebuah bangsa adalah pemilik kedaulatan, dan sistem demokrasi menuntut warga negara mewujudkan kehendaknya yang tertinggi dengan memilih orang-orang yang mewakili mereka. Dalam sebuah sistem demokrasi, rakyat adalah sumber hukum dan hukum pada gilirannya berfungsi menjamin perlindungan terhadap kesejahteraan dan kepentingan setiap orang yang memiliki kedaulatan itu.

Islam memandang bahwa demokrasi menyuguhkan sebuah tantangan yang sangat berat. Para ahli hukum Muslim berargumen bahwa hukum yang dibuat oleh sebuah sistem kerajaan dipandang tidak sah karena ia menggantikan kedaulatan Allah SWT dengan otoritas manusia. Tapi hukum yang dibuat oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan juga mengandung persoalan legitimasi serupa. Dalam agama Islam, Allah SWT adalah satu-satunya pemegang kedaulatan dan sumber hukum tertinggi. Jadi, bagaimana konsep demokrasi tentang otoritas rakyat dapat diserasikan dengan ajaran Islam tentang otoritas Allah SWT?

Jawaban atas pertanyaan tersebut sangat penting sekaligus luar biasa beratnya, baik dari sisi politis maupun dari sisi konseptualitas. Dari sisi politis, sejak awal kita harus tegaskan bahwa demokrasi menghadapi sejumlah kendala praktis di negara-negara di dunia termasuk di Indonesia karena adanya berbagai tradisi politik otoriter, sejarah imperialisme dan kolonialisme, dan dominasi negara terhadap aktifitas ekonomi dan kehidupan masyarakat. Kita juga perlu mengemukakan persoalan filosofis dan doktrinal, dan perlu diusulkan bahwa agar kita berkonsentrasi pada persoalan tersebut untuk memulai diskusi kita tentang adanya kemungkinan penerapan demokrasi di Indonesia dengan mengacu pada ajaran Islam atau demokrasi pancasila yang menggunakan ruh al-Islamiyah. Dengan demikian, bukan berarti mengganti demokrasi yang sudah diberlakukan selama ini.

Sebuah persoalan konseptual yang paling penting adalah bahwa demokrasi modern telah berkembang selama berabad-abad dalam konteks dunia Eropa Kristen pasca Reformasi yang sangat unik. Apakah masuk akal bila kita mencari titik temu pada sebuah konteks yang sangat jauh berbeda? Jawaban dari pertanyaan ini adalah dengan dimulai dari premis bahwa demokrasi dan Islam didefinisikan berdasarkan nilai-nilai moral utama yang mendasarinya, serta komitmen para pelakunya bukan berdasarkan cara penerapan nilai-nilai dan komitmen tersebut. Jika kita berkonsentrasi pada nilai-nilai moral yang mendasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan bahwa tradisi pemikiran politik Islam memuat kemungkinan-kemungkinan interpretatif maupun praktis yang dapat dikembangkan ke dalam sebuah sistem demokrasi. Jelasnya, kemungkinan-kemungkinan doktrinal ini bisa saja tercapai jika adanya: kekuatan kehendak, visi yang tercerahkan, dan komitmen moral. Tapi, orang-orang Islam, yang menjadikan Islam sebagai kerangka rujukan yang otoritatif, akhirnya bisa meyakini bahwa demokrasi adalah sebuah kebaikan etis, dan bahwa upaya mengejar kebaikan itu tidak berarti harus meninggalkan Islam.

C. Hubungan antara Politik dan Agama

Politik pada dasarnya adalah hasil pemikiran manusia tentang sistem kekuasaan. Agama Islam sebagai agama yang besar dan universal sangat menghargai pemikiran-pemikiran tersebut. Hubungan antara politik dan agama sudah barang tentu berkaitan erat dengan pemikiran politik dari orang yang beragama, sehingga tidak dapat dinafikan, karena setiap pemikiran, termasuk pemikiran politik selalu berhubungan dengan pemikirnya.

Sebuah politik yang berasal dari ruh al-Islamiyah harus menerima gagasan tentang kedaulatan Allah SWT: karena kita tidak dapat meletakkan kedaulatan rakyat di atas kedaulatan Allah SWT, akan tetapi justru harus memperlihatkan bagaimana kedaulatan rakyat itu dapat mengekspresikan otoritas Allah SWT. Sama halnya, kita tidak dapat menolak gagasan bahwa hukum Allah SWT harus didahulukan dari pada hukum manusia, tapi justru harus memperlihatkan bagaimana pembentukan hukum yang demokratis menghormati prioritas eksistensi Allah SWT.

Syariat adalah Jalan Allah SWT; ia direpresentasikan dengan seperangkat prinsip-prinsip normatif, metodologi untuk menghasilkan aturan hukum, dan seperangkat aturan hukum positif. Seperti yang telah dimaklumi bersama, hasil pemikiran para imam madzhab termasuk empat madzhab yang masyhur di Indonesia sampai saat ini.

Bagian terbesar Syariat tidak ditetapkan secara eksplisit oleh Allah SWT. Syariat justru mengandalkan upaya interpretasi agen manusia untuk menghasilkan dan melaksanakan hukum-hukumnya. Namun, sesungguhnya Syariat merupakan nilai inti yang harus dilestarikan oleh masyarakat. Paradoks ini ditampilkan dalam bentuk ketegangan antara kewajiban untuk hidup berlandaskan hukum Allah SWT dengan kenyataan bahwa hukum tersebut terbentuk semata melalui penetapan interpretasi para hukama.

Sebagai bagian dari landasan doktrinal dalam diskursus ini, pembahasan para ahli hukum Sunni berfokus pada sebuah hadis yang dinisbatkan kepada Nabi, yang berbunyi: “Setiap mujtahid (ahli hukum yang berusaha keras menemukan jawaban yang benar) dipandang benar” atau “Setiap mujtahid akan mendapat pahala.” Hal ini mengisyaratkan bahwa jawaban yang benar untuk sebuah pertanyaan yang sama bisa lebih dari satu. Menurut para ahli hukum Sunni, hal itu memunculkan persoalan tentang tujuan dan motif di balik pencarian Kehendak Allah SWT. Apa sebenarnya tujuan Allah SWT memberikan berbagai petunjuk menemukan hukum-Nya? Jika Allah SWT menghendaki manusia untuk mencapai satu jawaban yang benar, mungkinkah hukama menemukan kebenaran sesuai dengan apa yang diinginkan oleh-Nya? Allah SWT menghendaki agar manusia berusaha dengan segenap kemampuannya untuk menemukan hukum-hukum yang Allah SWT kehendaki. Jawaban benar atas sebuah permasalahan tentu tidaklah satu, jika permasalahannya memang bukan sebuah obyektifitas hukum. Ilustrasi untuk hal tersebut adalah, jika seseorang akan pergi ke masjid istiqlal apakah hanya satu alternatif jalan menuju ke sana? Tentu anda akan menjawab tidak hanya satu alternatif jalan yang dapat ditempuh untuk sampai ke masjid Istiqlal. Tetapi kunci jawaban yang sudah dipersiapkan Allah SWT tentang jalan menuju istiqlal hanya Dialah yang mengetahuinya.

Oleh sebab itu, mayoritas ahli hukum Sunni sepakat bahwa ketekunan yang dilandasi kejujuran dalam mencari kehendak Allah SWT cukup memadai untuk melindungi diri dari tuntutan di hadapan Allah SWT kelak. Di luar semua itu, para ahli hukum terbagi ke dalam dua kelompok utama. Kelompok utama, yang dikenal dengan mukhatti’ah, berargumen bahwa pada dasarnya dalam setiap persoalan hukum terdapat satu jawaban yang benar; namun hanya Allah SWT yang tahu jawaban yang benar itu, dan kebenaran tersebut hanya akan terungkap pada hari akhirat kelak. Manusia sebagian besar tidak dapat mengetahui secara pasti apakah mereka telah menemukan jawaban yang benar itu. Dalam pengertian ini, setiap mujtahid dipandang benar karena telah mencoba mencari jawaban; namun, seseorang mujtahid mungkin dapat mencapai kebenaran sedangkan yang lainnya mungkin keliru. Di akhirat kelak, Allah SWT akan memberitahu semua orang tentang siapa yang tepat dan siapa yang keliru. Ketepatan di sini berarti bahwa seorang mujtahid diberi penghargaan atas upayanya dalam menemukan kehendak-Nya bukan berarti jawabannya memang benar.

Mazhab kedua, yang dikenal dengan sebutan musawwibah, berargumen bahwa tidak ada satupun jawaban yang benar-benar tepat (hukm mu‘ayyan) yang harus ditemukan oleh manusia: bagaimanapun, jika ada jawaban yang tepat, Allah SWT akan memberikan hujjah yang menunjukkan kepastian dan kejelasan aturan Allah SWT. Allah SWT tidak akan memerintahkan manusia menemukan jawaban yang tepat sementara petunjuk obyektif untuk menemukan jawaban tersebut tidak tersedia. Jika memang ada kebenaran obyektif bagi semua hal, Allah SWT akan menjadikan kebenaran itu bisa diketahui di dunia ini. Dalam berbagai kondisi, kebenaran hukum, atau ketepatan bergantung pada keyakinan dan pembuktian, dan validitas dari sebuah aturan atau tindakan hukum seringkali bergantung pada kaidah-kaidah persepsi (rules of recognition) yang menjadi syarat keberadaannya. Manusia tidak dibebani dengan kewajiban untuk menemukan hasil yang abstrak, sulit dipahami dan benar secara hukum. Pada kenyataannya manusia hanya dibebani dengan kewajiban untuk secara sungguh-sungguh menganalisa sebuah persoalan dan kemudian mengikuti hasil-hasil ijtihad mereka sendiri. Menurut al-Juwayni, misalnya, yang dikehendaki Allah SWT dari manusia adalah mencari kebenaran–meniti kehidupan sambil mendekatkan diri sepenuhnya pada Allah SWT. Al-Juwayni menjelaskan dalam kitab al-Ijtihad: seolah-olah Allah SWT berkata kepada manusia, “Perintah-Ku pada hamba-hamba-Ku sebanding dengan besarnya keimanan mereka. Jadi, siapa saja yang yakin bahwa ia diwajibkan melakukan sesuatu, maka bertindak atas dasar keyakinannya itu merupakan perintah-Ku.” Perintah Allah SWT kepada manusia adalah agar mereka bersungguh-sungguh melakukan pencarian, dan hukum Allah SWT akan ditunda hingga manusia memperoleh kepastian yang kuat tentang hukum tersebut. Ketika keyakinan yang kuat terbentuk, hukum Allah SWT mengikuti keyakinan kuat yang dibentuk oleh individu tersebut. Singkatnya, jika seseorang secara jujur dan tulus meyakini bahwa hukum Allah SWT adalah begini dan begitu, maka baginya ia menjadi hukum Allah SWT.

Pendapat mazhab kedua ini memunculkan persoalan rumit seputar penerapan Syariat dalam masyarakat. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa hukum Allah SWT adalah upaya pencarian hukum Allah SWT itu sendiri; jika tidak, maka beban hukum (taklif) sepenuhnya bergantung pada subyektifitas dan kejujuran dari keyakinan seseorang. Berdasarkan sudut pandang mazhab pertama, hukum apapun yang diterapkan oleh negara, hukum tersebut secara potensial merupakan hukum Allah SWT, dan kita tidak akan mengetahui hukum Allah SWT yang sebenarnya hingga akhir jaman. Dari sudut pandang mazhab kedua, hukum apapun yang diterapkan oleh negara bukanlah hukum Allah SWT, kecuali jika orang yang harus menjalankan hukum tersebut meyakininya sebagai kehendak dan perintah Allah SWT. Mazhab pertama menangguhkan pengetahuan tentang hukum Allah SWT hingga kita memasuki alam akhirat, dan mazhab kedua menggantungkan pengetahuan itu pada validitas proses dan kejujuran sebuah keyakinan.

Dengan berpijak pada warisan pemikiran ini, penulis memandang bahwa Syariat harus tempatkan dalam politik Islam sebagai konstruksi simbolis tentang kesempurnaan Allah SWT yang berada di luar jangkauan manusia. Politik Islam harus dapat menjadi hakikat keadilan, kebaikan, dan keindahan ilahi. Kesempurnaannya terpelihara oleh Allah SWT, sementara segala sesuatu yang disalurkan melalui agen manusia pasti akan tercemar oleh ketidaksempurnaan manusia. Dengan ungkapan lain, syariat yang diwahyukan Allah SWT benar-benar sempurna, tapi ketika dipahami oleh manusia, ia menjadi tidak sempurna dan bersifat kondisional. Hukama harus terus menggali gagasan utama syariat dan mengerahkan daya upaya mereka secara maksimal yang tidak sempurna itu untuk memahami kesempurnaan Allah SWT. Selama argumentasi yang dibangun itu bersifat normatif, ia tidak akan mampu mencapai kehendak Allah SWT, sehingga hukum apapun yang diterapkan pasti berpotensi mengalami kegagalan. Syariat bukan hanya kumpulan hukum (seperangkat aturan positif), tapi juga mencakup senarai prinsip, metodologi, dan proses diskursus yang diarahkan untuk mencapai kehendak Allah SWT. Dengan demikian, Syariat merupakan sebuah karya yang berkesinambungan dan tidak pernah rampung.

Penjelasan konkritnya adalah sebagai berikut: jika sebuah pendapat diadopsi dan dilaksanakan oleh sebuah negara, pendapat tersebut tidak bisa dikatakan sebagai hukum Allah SWT. Setelah melalui proses penetapan dan penegakan oleh negara, pendapat hukum itu tidak lagi semata mengandung potensi–ia menjadi hukum yang sebenarnya, yang diterapkan dan dilaksanakan. Tapi, hukum yang telah diterapkan dan dilaksanakan bukanlah hukum Allah SWT–ia menjadi hukum negara.

Dengan demikian, hukum agama sebuah negara merupakan istilah yang kontradiktif, karena hukum itu seharusnya hanya milik negara atau milik Allah SWT semata, dan selama penjelasan dan pelaksanaan hukum itu bersandar pada agen subyektif negara, maka hukum tersebut pasti bukanlah hukum Allah SWT. Kalau tidak begitu, maka kita harus mau mengakui bahwa kegagalan hukum negara pada kenyataannya merupakan kegagalan hukum Allah SWT, dan akhirnya juga berarti kegagalan Allah SWT sendiri. Dalam ajaran tentang konsep teologi Islam, kemungkinan tersebut tidak dapat diterima.

Tentu saja, tantangan terbesar bagi pendapat tersebut adalah argumentasi bahwa Allah SWT dan Nabi-Nya telah menetapkan perintah hukum yang jelas yang tidak dapat diabaikan. Secara argumentatif bisa dikatakan bahwa Allah SWT telah menetapkan hukum-Nya secara jelas dan tepat karena Dia ingin membatasi peran agen manusia dan menutup kemungkinan melakukan inovasi. Tapi–kembali lagi pada pendapat yang telah saya tekankan sebelumnya–bagaimanapun jelas dan akuratnya pernyataan dalam Alquran dan sunah, yang diambil dari kedua sumber itu harus dinegosiasikan melalui agen manusia. Misalnya, Alquran menyebutkan, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. 5:38). Meskipun kandungan hukum dari ayat tersebut tampak jelas, ia setidaknya menuntut manusia untuk menafsirkan makna “pencuri,” “memotong,” “tangan,” dan “balasan.” Alquran menggunakan ungkapan iqta‘u, dari akar kata qata‘a, yang bisa bermakna “memutuskan” atau “memotong,” tapi ia juga bisa berarti “bersikap tegas,” “mengakhiri,” “mencegah,” atau “menjauhkan seseorang.” Apapun makna yang kita ambil dari teks tersebut, pertanyaannya kemudian adalah dapatkah seorang penafsir mengklaim dengan penuh kepastian bahwa penetapan yang ia capai identik dengan penetapan yang dikehendaki Allah SWT? Sekalipun ketika persoalan makna itu berhasil dipecahkan, dapatkah hukum tersebut dilaksanakan dengan jalan sedemikian rupa sehingga kita dapat mengklaim bahwa hasilnya sesuai dengan kehendak Allah SWT? Pengetahuan dan keadilan Allah SWT bersifat sempurna, dan manusia tidak mungkin menentukan atau melaksanakan hukum dengan sedemikian rupa sehingga sepenuhnya terhindar dari kemungkinan melakukan kesalahan. Hal ini tidak berarti bahwa pencarian hukum Allah SWT berujung pada kesia-siaan; ia hanya berarti bahwa penafsiran para ahli hukum merupakan pemenuhan kehendak Allah SWT, tapi hukum-hukum yang dikodifikasi dan diterapkan oleh negara tidak dapat dipandang sebagai pemenuhan kehendak Allah SWT yang sebenarnya.

Sejarah Islam telah mencatat, secara kelembagaan ulama, yaitu para ahli hukum, dapat dan benar-benar bertindak sebagai penafsir firman Allah SWT, penjaga moral masyarakat, dan pengawas yang mengingatkan dan mengarahkan bangsa pada tujuan tertinggi, yaitu Allah SWT. Akan tetapi hukum negara, apapun asal-usul dan landasannya, merupakan milik negara semata. Berdasarkan konsep ini, tidak ada hukum agama yang dapat atau boleh ditegakkan oleh negara. Semua hukum yang dijelaskan dan diterapkan dalam sebuah negara sepenuhnya merupakan hukum manusia, dan harus diperlakukan sebagai hukum manusia. Hukum-hukum tersebut merupakan bagian dari hukum syariat hanya sejauh pengertian bahwa pendapat hukum manusia bisa dikatakan sebagai bagian dari syariat. Sebuah undang-undang, sekalipun bersumber dari syariat, bukanlah syariat. Dalam ungkapan yang berbeda, manusia (creation), dengan seluruh kekayaan tekstual dan non-tekstual, dapat dan harus menghasilkan hak yang mendasar dan hukum yang terorganisir (arganizational law) yang mampu menghargai dan menjunjung tinggi hak tersebut. Tapi hak dan hukum itu tidak mencerminkan kesempurnaan ciptaan Allah SWT. Berdasarkan paradigma tersebut, demokrasi merupakan sebuah sistem yang memadai dari perspektif Islam karena selain mengungkapkan sisi penting manusia–yaitu statusnya sebagai khalifah Allah SWT–pada saat yang sama juga mencegah negara bertindak sebagai juru bicara Allah SWT dengan meletakkan otoritas tertinggi di tangan rakyat, bukan di tangan ulama. Di samping itu pendidik moral memiliki peran yang serius, karena mereka harus siap membimbing masyarakat untuk mendekati Allah SWT. Tapi kehendak kelompok mayoritas sekalipun–sebaik apapun moralitas mereka–tidak dapat mewakili kehendak Allah SWT. Dan dalam kasus yang paling buruk–jika kelompok mayoritas lepas dari bimbingan para ulama, jika kelompok mayoritas bersikeras untuk menyimpang dari jalan Allah SWT, tapi masih menghormati hak-hak dasar individu, termasuk hak untuk mempertimbangkan penciptaan dengan hati-hati dan menyeru pada jalan Allah SWT–individu-individu yang membentuk kelompok mayoritas itu tetap harus bertanggung jawab kepada Allah SWT di akhirat kelak.

D. Konstribusi Agama dalam Kehidupan Berpolitik

Konstribusi agama dalam kehidupan politik tentu bukan berarti agama itu sendiri melainkan pemikir-pemikir yang beragama tersebut dalam melaksanakan kehidupan pilitiknya. Realita yang ada saat ini banyak sekali pemikir yang menyampaikan teori-teori Islam sebagai alternatif pemecahan masalah kenegaraan, baik bersifat pribadi maupun dalam wadah kelembagaan organisasi.

Di antara wadah organisasi keagamaan yang ada di Indonesia adalah Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Islam (PERSIS), dan organisasi-organisasi umat Islam lainnya. Wadah-wadah organisasi tersebut sangat aktif dalam membantu penyelesaian masalah-masalah politik di negara tercinta ini, bahkan Nahdhatul Ulama ternyata tidak hanya di dalam negeri bahkan ikut membantu penyelesaian di luar negeri seperti di Thailand.

Islam melalui sumber hukumnya yakni al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW tidak menjelaskan secara shorih atau jelas tentang sistem politik termasuk di dalamnya mengenai bentuk pemerintahan tertentu. Tapi Alquran jelas-jelas menyebutkan seperangkat nilai sosial dan politis yang penting bagi sebuah pemerintahan Islam. Setidaknya ada tiga nilai Qurani berikut ini memiliki signifikansi khusus yakni mencapai keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu (Q.S. 49:13, 11:119); membangun sebuah sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis; dan melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial (Q.S. 6:12, 54; 21:77; 27:77; 45:20).

E. Peranan Agama dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Islam adalah agama pemersatu umat –bukan seperti apa yang dikumandangkan oleh sebagian orang-, begitu pun dengan agama-agama lain yang ada di dunia. Karena pada prinsipnya, setiap agama akan mengamalkan kebaikan menurut fersinya masing-masing.

Islam, sebagai salah satu agama yang ada dunia dan di Indonesia merupakan jumlah pemeluk yang terbesar merupakan modal dari pemersatu bangsa. Islam di Indonesia mempunyai beberapa organisasi yang mengembangkan pemikiran-pemikiran Islam.

Sebagaimana dungkapkan sebelumnya bahwa Islam mempunyai banyak organisasi di Indonesia, antara lain Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, Persatuan Umat Islam, dan lain-lain. Organisasi-organisasi tersebut, seringkali menjadi pemersatu bagi umat manusia di Indonesia. Organisasi tersebut masing-masing membina dan mengarahkan para anggotanya untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Organisasi-organisasi tersebut mengakar dari kampung atau desa sampai di tingkat pusat, seperti Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) yang berkedudukan di Jakarta, PWNU (Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama) berkedudukan di Propinsi, Pengurus Cabang sampai dengan Pengurus ranting.

Pada level organisasi tersebut banyak kegiatan-kegiatan yang dijadikan sebagai ajang pemersatu umat atau anggota yang pada akhirnya bermuara pada persatuan dan kesatuan bangsa. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain pengajian rutin atau juga Bahtsul Matsail.

F. Evaluasi

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad Ushul al-Fiqh, Kairo, Dar al-Fikr al-‘Araby, 1958,

Ahmad, Sihabudin, Nashâihul ‘Ibâd, Indonesia : Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, T.th

Ali Nurdin, Ahmad, Politik Islam tidak Monolitik, www.yahoo.com,

Asyarie, Musa, Manusia pembentuk kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: LESFI, 1992

Biyanto, Pemikiran William James Tentang Agama, Wikipedia.com,2009

Khalaf, Abdul Wahab Ushul al-Fiqh , Kairo, Dar al-Qalam, 1978, cet., ke-12,

Moechidin, Pendidikan Agama Islam (Diktat), Serang: Cahaya Ilmu, 2006

Nurdin, Muslim dkk., Moral dan Kognisi Islam, Bandung: PT. Alrabita, 1995

Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002, volume 11

Syamsuri, A. Siddiq, Mimbar Penyuluhan Aqiedah, Syari’ah, Akhlak, Bandung: Depag Jabar, 1976, Jilid II.

TIM Dosen MPK PAI, Islam Progresif, Serang, Untirta Press, 2005, cet.II,

Zulkabir dkk., Islam konseptual dan kontekstual, Bandung: ITQAN,1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Serang, Serang/Banten, Indonesia
saya seorang pendidik yang memang sejak SD tertarik pada profesi guru, karenanya setelah menamatkan MTsN Pemalang 1987, mengambil SLTA di PGAN Pekalongan tamat 1990, selanjutnya kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Tarbiyah PAI selesai 1995, dan mengambil pasca sarjana prodi Magister Penelitian dan Evaluasi Pendidikan di PPs Uhamka Jakarta selesai 2006. Pendidik adalah pekerjaan yang mulia sesuai sunnah Rasulullah saw., karena itu maka saya sangat senang menjadi pendidik.