Jumat, 08 Januari 2010

PAI 1 bab 6

BAB VI

Politik dalam Islam

A. Pengantar

Islam adalah agama yang universal, karena itu masalah-masalah yang ada dalam masyarakat sudah barang tentu diatur di dalam ajaran Islam. Namun, dengan keijmalannya itu, banyak kaum muslim sendiri yang menjadikannya ikhtilaf, apakah politik diatur atau tidak dalam ajaran Islam? Karena secara eksplisit, Nabi Muhammad SAW tidak mengajarkan tentang politik.

Perbedaan pendapat itu, bukan saja pada masalah diajarkannya atau tidak politik pada jaman Rasulullah SAW, akan tetapi juga berkaitan dengan masalah khilafah al-Islamiyah. Jika ada, bagaimanakah politik jaman Rasulullah Muhammad SAW?

Pada awal perkembangan Islam, yakni jaman Nabi Muhammad SAW, tidak tampak secara jelas tentang politik Islam di dunia apalagi di Indonesia. Pada saat itu, Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul sekaligus sebagai pimpinan negara melekat tanggungjawab sebagai pemakmur alam raya.

Kira-kira, pada saat sahabat Utsman menjadi khalifah mulai bergejolak di antara kaum muslim pada saat itu tentang siapakah yang seharusnya menggantikan Umar bin Khattab ra. Pada saat inilah tampaknya awal mula pertumbumbuhan politik Islam atau dalam bahasa lain umat Islam berpikir tentang pemindahan kekuasaan yang identik dengan politik.

B. Pandangan Politik dalam Islam

Berlatar belakang pengantar di atas, maka pada era modern ini banyak orang memperbincangkan mengenai politik Islam. Untuk lebih mengarahkan pada perbincangan kita tentunya, kita harus dapat memahami apakah yang dimaksud dengan politik Islam? Ahmad Ali Nurdin mengutif

Guilain Denoeux, dalam tulisannya The Forgotten Swamp: Navigating Political Islam, Middle East Policy, vol. 9 (June 2002), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan politik Islam adalah bentuk gerakan yang dilancarkan oleh individu, kelompok atau organisasi yang mempunyai tujuan politik atas nama Islam. Artinya, semua gerakan baik itu yang radikal, moderat atau liberal sekalipun, ketika memperjuangkan kepentingan politiknya dengan mengatas namakan Islam disebut dengan politik Islam.

Pengertian tersebut di atas menggambarkan bahwa umat Islam tidak seharusnya lari dari politik. Namun tentu harus berpegang pada ruh atau nilai-nilai Islam dalam menjalankan politiknya. Untuk dapat mengetahui politik secara Islam ada baiknya kita harus memahami politik Islam dengan pandangan yang universal bukan dari segi penafsiran terhadap Islam, atau setidaknya kita memahami perkembangan politik secara umum.

Untuk mengkaji tentang politik Islam yang sudah seharusnya kita mengkaji dahulu tentang sistem politik natural–sebuah dunia anarkis, tak berperadaban, dan primitif. Dalam kelompok ini yang paling kuat menguasai kelompok yang lemah. Tidak ada hukum; yang ada hanya tradisi. Tidak ada pemerintahan; yang ada hanya pemimpin-pemimpin suku yang ditaati selama mereka dianggap sebagai yang terkuat.

Selanjutnya sistem politik kedua, yang diperintah oleh seorang pangeran atau raja yang titahnya dipandang sebagai hukum. Karena hukum ditetapkan dengan kehendak sewenang-wenang penguasa, dan rakyat mentaatinya semata dengan keharusan dan paksaan, sistem ini juga dipandang sebagai bentuk tirani dan tidak memperoleh legitimasi.

Sistem politik yang ketiga adalah sistem yang paling baik, yaitu sistem khilafah, yang didasarkan pada Syariat yang didasarkan pada batang tubuh hukum agama Islam yang dilandaskan pada Alquran dan sunnah Rasul. Menurut para ahli hukum Muslim, hukum Syariat memenuhi syarat keadilan dan legitimasi, mengikat rakyat termasuk para penguasa. Karena ia didasarkan pada aturan hukum dan menolak otoritas manusia atas manusia lainnya, sistem khilafah dipandang lebih unggul dari pada sistem lainnya.

Untuk mendukung aturan hukum dan pemerintahan yang tidak tak terbatas, para ulama klasik menganut unsur-unsur inti yang dipraktikkan dalam sistem demokrasi modern. Namun, pemerintahan yang tidak tak terbatas dan aturan hukum hanyalah dua unsur dari sebuah sistem pemerintahan yang saat ini memiliki klaim legitimasi yang paling meyakinkan. Kekuatan moral demokrasi terletak pada gagasan bahwa warga negara sebuah bangsa adalah pemilik kedaulatan, dan sistem demokrasi menuntut warga negara mewujudkan kehendaknya yang tertinggi dengan memilih orang-orang yang mewakili mereka. Dalam sebuah sistem demokrasi, rakyat adalah sumber hukum dan hukum pada gilirannya berfungsi menjamin perlindungan terhadap kesejahteraan dan kepentingan setiap orang yang memiliki kedaulatan itu.

Islam memandang bahwa demokrasi menyuguhkan sebuah tantangan yang sangat berat. Para ahli hukum Muslim berargumen bahwa hukum yang dibuat oleh sebuah sistem kerajaan dipandang tidak sah karena ia menggantikan kedaulatan Allah SWT dengan otoritas manusia. Tapi hukum yang dibuat oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan juga mengandung persoalan legitimasi serupa. Dalam agama Islam, Allah SWT adalah satu-satunya pemegang kedaulatan dan sumber hukum tertinggi. Jadi, bagaimana konsep demokrasi tentang otoritas rakyat dapat diserasikan dengan ajaran Islam tentang otoritas Allah SWT?

Jawaban atas pertanyaan tersebut sangat penting sekaligus luar biasa beratnya, baik dari sisi politis maupun dari sisi konseptualitas. Dari sisi politis, sejak awal kita harus tegaskan bahwa demokrasi menghadapi sejumlah kendala praktis di negara-negara di dunia termasuk di Indonesia karena adanya berbagai tradisi politik otoriter, sejarah imperialisme dan kolonialisme, dan dominasi negara terhadap aktifitas ekonomi dan kehidupan masyarakat. Kita juga perlu mengemukakan persoalan filosofis dan doktrinal, dan perlu diusulkan bahwa agar kita berkonsentrasi pada persoalan tersebut untuk memulai diskusi kita tentang adanya kemungkinan penerapan demokrasi di Indonesia dengan mengacu pada ajaran Islam atau demokrasi pancasila yang menggunakan ruh al-Islamiyah. Dengan demikian, bukan berarti mengganti demokrasi yang sudah diberlakukan selama ini.

Sebuah persoalan konseptual yang paling penting adalah bahwa demokrasi modern telah berkembang selama berabad-abad dalam konteks dunia Eropa Kristen pasca Reformasi yang sangat unik. Apakah masuk akal bila kita mencari titik temu pada sebuah konteks yang sangat jauh berbeda? Jawaban dari pertanyaan ini adalah dengan dimulai dari premis bahwa demokrasi dan Islam didefinisikan berdasarkan nilai-nilai moral utama yang mendasarinya, serta komitmen para pelakunya bukan berdasarkan cara penerapan nilai-nilai dan komitmen tersebut. Jika kita berkonsentrasi pada nilai-nilai moral yang mendasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan bahwa tradisi pemikiran politik Islam memuat kemungkinan-kemungkinan interpretatif maupun praktis yang dapat dikembangkan ke dalam sebuah sistem demokrasi. Jelasnya, kemungkinan-kemungkinan doktrinal ini bisa saja tercapai jika adanya: kekuatan kehendak, visi yang tercerahkan, dan komitmen moral. Tapi, orang-orang Islam, yang menjadikan Islam sebagai kerangka rujukan yang otoritatif, akhirnya bisa meyakini bahwa demokrasi adalah sebuah kebaikan etis, dan bahwa upaya mengejar kebaikan itu tidak berarti harus meninggalkan Islam.

C. Hubungan antara Politik dan Agama

Politik pada dasarnya adalah hasil pemikiran manusia tentang sistem kekuasaan. Agama Islam sebagai agama yang besar dan universal sangat menghargai pemikiran-pemikiran tersebut. Hubungan antara politik dan agama sudah barang tentu berkaitan erat dengan pemikiran politik dari orang yang beragama, sehingga tidak dapat dinafikan, karena setiap pemikiran, termasuk pemikiran politik selalu berhubungan dengan pemikirnya.

Sebuah politik yang berasal dari ruh al-Islamiyah harus menerima gagasan tentang kedaulatan Allah SWT: karena kita tidak dapat meletakkan kedaulatan rakyat di atas kedaulatan Allah SWT, akan tetapi justru harus memperlihatkan bagaimana kedaulatan rakyat itu dapat mengekspresikan otoritas Allah SWT. Sama halnya, kita tidak dapat menolak gagasan bahwa hukum Allah SWT harus didahulukan dari pada hukum manusia, tapi justru harus memperlihatkan bagaimana pembentukan hukum yang demokratis menghormati prioritas eksistensi Allah SWT.

Syariat adalah Jalan Allah SWT; ia direpresentasikan dengan seperangkat prinsip-prinsip normatif, metodologi untuk menghasilkan aturan hukum, dan seperangkat aturan hukum positif. Seperti yang telah dimaklumi bersama, hasil pemikiran para imam madzhab termasuk empat madzhab yang masyhur di Indonesia sampai saat ini.

Bagian terbesar Syariat tidak ditetapkan secara eksplisit oleh Allah SWT. Syariat justru mengandalkan upaya interpretasi agen manusia untuk menghasilkan dan melaksanakan hukum-hukumnya. Namun, sesungguhnya Syariat merupakan nilai inti yang harus dilestarikan oleh masyarakat. Paradoks ini ditampilkan dalam bentuk ketegangan antara kewajiban untuk hidup berlandaskan hukum Allah SWT dengan kenyataan bahwa hukum tersebut terbentuk semata melalui penetapan interpretasi para hukama.

Sebagai bagian dari landasan doktrinal dalam diskursus ini, pembahasan para ahli hukum Sunni berfokus pada sebuah hadis yang dinisbatkan kepada Nabi, yang berbunyi: “Setiap mujtahid (ahli hukum yang berusaha keras menemukan jawaban yang benar) dipandang benar” atau “Setiap mujtahid akan mendapat pahala.” Hal ini mengisyaratkan bahwa jawaban yang benar untuk sebuah pertanyaan yang sama bisa lebih dari satu. Menurut para ahli hukum Sunni, hal itu memunculkan persoalan tentang tujuan dan motif di balik pencarian Kehendak Allah SWT. Apa sebenarnya tujuan Allah SWT memberikan berbagai petunjuk menemukan hukum-Nya? Jika Allah SWT menghendaki manusia untuk mencapai satu jawaban yang benar, mungkinkah hukama menemukan kebenaran sesuai dengan apa yang diinginkan oleh-Nya? Allah SWT menghendaki agar manusia berusaha dengan segenap kemampuannya untuk menemukan hukum-hukum yang Allah SWT kehendaki. Jawaban benar atas sebuah permasalahan tentu tidaklah satu, jika permasalahannya memang bukan sebuah obyektifitas hukum. Ilustrasi untuk hal tersebut adalah, jika seseorang akan pergi ke masjid istiqlal apakah hanya satu alternatif jalan menuju ke sana? Tentu anda akan menjawab tidak hanya satu alternatif jalan yang dapat ditempuh untuk sampai ke masjid Istiqlal. Tetapi kunci jawaban yang sudah dipersiapkan Allah SWT tentang jalan menuju istiqlal hanya Dialah yang mengetahuinya.

Oleh sebab itu, mayoritas ahli hukum Sunni sepakat bahwa ketekunan yang dilandasi kejujuran dalam mencari kehendak Allah SWT cukup memadai untuk melindungi diri dari tuntutan di hadapan Allah SWT kelak. Di luar semua itu, para ahli hukum terbagi ke dalam dua kelompok utama. Kelompok utama, yang dikenal dengan mukhatti’ah, berargumen bahwa pada dasarnya dalam setiap persoalan hukum terdapat satu jawaban yang benar; namun hanya Allah SWT yang tahu jawaban yang benar itu, dan kebenaran tersebut hanya akan terungkap pada hari akhirat kelak. Manusia sebagian besar tidak dapat mengetahui secara pasti apakah mereka telah menemukan jawaban yang benar itu. Dalam pengertian ini, setiap mujtahid dipandang benar karena telah mencoba mencari jawaban; namun, seseorang mujtahid mungkin dapat mencapai kebenaran sedangkan yang lainnya mungkin keliru. Di akhirat kelak, Allah SWT akan memberitahu semua orang tentang siapa yang tepat dan siapa yang keliru. Ketepatan di sini berarti bahwa seorang mujtahid diberi penghargaan atas upayanya dalam menemukan kehendak-Nya bukan berarti jawabannya memang benar.

Mazhab kedua, yang dikenal dengan sebutan musawwibah, berargumen bahwa tidak ada satupun jawaban yang benar-benar tepat (hukm mu‘ayyan) yang harus ditemukan oleh manusia: bagaimanapun, jika ada jawaban yang tepat, Allah SWT akan memberikan hujjah yang menunjukkan kepastian dan kejelasan aturan Allah SWT. Allah SWT tidak akan memerintahkan manusia menemukan jawaban yang tepat sementara petunjuk obyektif untuk menemukan jawaban tersebut tidak tersedia. Jika memang ada kebenaran obyektif bagi semua hal, Allah SWT akan menjadikan kebenaran itu bisa diketahui di dunia ini. Dalam berbagai kondisi, kebenaran hukum, atau ketepatan bergantung pada keyakinan dan pembuktian, dan validitas dari sebuah aturan atau tindakan hukum seringkali bergantung pada kaidah-kaidah persepsi (rules of recognition) yang menjadi syarat keberadaannya. Manusia tidak dibebani dengan kewajiban untuk menemukan hasil yang abstrak, sulit dipahami dan benar secara hukum. Pada kenyataannya manusia hanya dibebani dengan kewajiban untuk secara sungguh-sungguh menganalisa sebuah persoalan dan kemudian mengikuti hasil-hasil ijtihad mereka sendiri. Menurut al-Juwayni, misalnya, yang dikehendaki Allah SWT dari manusia adalah mencari kebenaran–meniti kehidupan sambil mendekatkan diri sepenuhnya pada Allah SWT. Al-Juwayni menjelaskan dalam kitab al-Ijtihad: seolah-olah Allah SWT berkata kepada manusia, “Perintah-Ku pada hamba-hamba-Ku sebanding dengan besarnya keimanan mereka. Jadi, siapa saja yang yakin bahwa ia diwajibkan melakukan sesuatu, maka bertindak atas dasar keyakinannya itu merupakan perintah-Ku.” Perintah Allah SWT kepada manusia adalah agar mereka bersungguh-sungguh melakukan pencarian, dan hukum Allah SWT akan ditunda hingga manusia memperoleh kepastian yang kuat tentang hukum tersebut. Ketika keyakinan yang kuat terbentuk, hukum Allah SWT mengikuti keyakinan kuat yang dibentuk oleh individu tersebut. Singkatnya, jika seseorang secara jujur dan tulus meyakini bahwa hukum Allah SWT adalah begini dan begitu, maka baginya ia menjadi hukum Allah SWT.

Pendapat mazhab kedua ini memunculkan persoalan rumit seputar penerapan Syariat dalam masyarakat. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa hukum Allah SWT adalah upaya pencarian hukum Allah SWT itu sendiri; jika tidak, maka beban hukum (taklif) sepenuhnya bergantung pada subyektifitas dan kejujuran dari keyakinan seseorang. Berdasarkan sudut pandang mazhab pertama, hukum apapun yang diterapkan oleh negara, hukum tersebut secara potensial merupakan hukum Allah SWT, dan kita tidak akan mengetahui hukum Allah SWT yang sebenarnya hingga akhir jaman. Dari sudut pandang mazhab kedua, hukum apapun yang diterapkan oleh negara bukanlah hukum Allah SWT, kecuali jika orang yang harus menjalankan hukum tersebut meyakininya sebagai kehendak dan perintah Allah SWT. Mazhab pertama menangguhkan pengetahuan tentang hukum Allah SWT hingga kita memasuki alam akhirat, dan mazhab kedua menggantungkan pengetahuan itu pada validitas proses dan kejujuran sebuah keyakinan.

Dengan berpijak pada warisan pemikiran ini, penulis memandang bahwa Syariat harus tempatkan dalam politik Islam sebagai konstruksi simbolis tentang kesempurnaan Allah SWT yang berada di luar jangkauan manusia. Politik Islam harus dapat menjadi hakikat keadilan, kebaikan, dan keindahan ilahi. Kesempurnaannya terpelihara oleh Allah SWT, sementara segala sesuatu yang disalurkan melalui agen manusia pasti akan tercemar oleh ketidaksempurnaan manusia. Dengan ungkapan lain, syariat yang diwahyukan Allah SWT benar-benar sempurna, tapi ketika dipahami oleh manusia, ia menjadi tidak sempurna dan bersifat kondisional. Hukama harus terus menggali gagasan utama syariat dan mengerahkan daya upaya mereka secara maksimal yang tidak sempurna itu untuk memahami kesempurnaan Allah SWT. Selama argumentasi yang dibangun itu bersifat normatif, ia tidak akan mampu mencapai kehendak Allah SWT, sehingga hukum apapun yang diterapkan pasti berpotensi mengalami kegagalan. Syariat bukan hanya kumpulan hukum (seperangkat aturan positif), tapi juga mencakup senarai prinsip, metodologi, dan proses diskursus yang diarahkan untuk mencapai kehendak Allah SWT. Dengan demikian, Syariat merupakan sebuah karya yang berkesinambungan dan tidak pernah rampung.

Penjelasan konkritnya adalah sebagai berikut: jika sebuah pendapat diadopsi dan dilaksanakan oleh sebuah negara, pendapat tersebut tidak bisa dikatakan sebagai hukum Allah SWT. Setelah melalui proses penetapan dan penegakan oleh negara, pendapat hukum itu tidak lagi semata mengandung potensi–ia menjadi hukum yang sebenarnya, yang diterapkan dan dilaksanakan. Tapi, hukum yang telah diterapkan dan dilaksanakan bukanlah hukum Allah SWT–ia menjadi hukum negara.

Dengan demikian, hukum agama sebuah negara merupakan istilah yang kontradiktif, karena hukum itu seharusnya hanya milik negara atau milik Allah SWT semata, dan selama penjelasan dan pelaksanaan hukum itu bersandar pada agen subyektif negara, maka hukum tersebut pasti bukanlah hukum Allah SWT. Kalau tidak begitu, maka kita harus mau mengakui bahwa kegagalan hukum negara pada kenyataannya merupakan kegagalan hukum Allah SWT, dan akhirnya juga berarti kegagalan Allah SWT sendiri. Dalam ajaran tentang konsep teologi Islam, kemungkinan tersebut tidak dapat diterima.

Tentu saja, tantangan terbesar bagi pendapat tersebut adalah argumentasi bahwa Allah SWT dan Nabi-Nya telah menetapkan perintah hukum yang jelas yang tidak dapat diabaikan. Secara argumentatif bisa dikatakan bahwa Allah SWT telah menetapkan hukum-Nya secara jelas dan tepat karena Dia ingin membatasi peran agen manusia dan menutup kemungkinan melakukan inovasi. Tapi–kembali lagi pada pendapat yang telah saya tekankan sebelumnya–bagaimanapun jelas dan akuratnya pernyataan dalam Alquran dan sunah, yang diambil dari kedua sumber itu harus dinegosiasikan melalui agen manusia. Misalnya, Alquran menyebutkan, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. 5:38). Meskipun kandungan hukum dari ayat tersebut tampak jelas, ia setidaknya menuntut manusia untuk menafsirkan makna “pencuri,” “memotong,” “tangan,” dan “balasan.” Alquran menggunakan ungkapan iqta‘u, dari akar kata qata‘a, yang bisa bermakna “memutuskan” atau “memotong,” tapi ia juga bisa berarti “bersikap tegas,” “mengakhiri,” “mencegah,” atau “menjauhkan seseorang.” Apapun makna yang kita ambil dari teks tersebut, pertanyaannya kemudian adalah dapatkah seorang penafsir mengklaim dengan penuh kepastian bahwa penetapan yang ia capai identik dengan penetapan yang dikehendaki Allah SWT? Sekalipun ketika persoalan makna itu berhasil dipecahkan, dapatkah hukum tersebut dilaksanakan dengan jalan sedemikian rupa sehingga kita dapat mengklaim bahwa hasilnya sesuai dengan kehendak Allah SWT? Pengetahuan dan keadilan Allah SWT bersifat sempurna, dan manusia tidak mungkin menentukan atau melaksanakan hukum dengan sedemikian rupa sehingga sepenuhnya terhindar dari kemungkinan melakukan kesalahan. Hal ini tidak berarti bahwa pencarian hukum Allah SWT berujung pada kesia-siaan; ia hanya berarti bahwa penafsiran para ahli hukum merupakan pemenuhan kehendak Allah SWT, tapi hukum-hukum yang dikodifikasi dan diterapkan oleh negara tidak dapat dipandang sebagai pemenuhan kehendak Allah SWT yang sebenarnya.

Sejarah Islam telah mencatat, secara kelembagaan ulama, yaitu para ahli hukum, dapat dan benar-benar bertindak sebagai penafsir firman Allah SWT, penjaga moral masyarakat, dan pengawas yang mengingatkan dan mengarahkan bangsa pada tujuan tertinggi, yaitu Allah SWT. Akan tetapi hukum negara, apapun asal-usul dan landasannya, merupakan milik negara semata. Berdasarkan konsep ini, tidak ada hukum agama yang dapat atau boleh ditegakkan oleh negara. Semua hukum yang dijelaskan dan diterapkan dalam sebuah negara sepenuhnya merupakan hukum manusia, dan harus diperlakukan sebagai hukum manusia. Hukum-hukum tersebut merupakan bagian dari hukum syariat hanya sejauh pengertian bahwa pendapat hukum manusia bisa dikatakan sebagai bagian dari syariat. Sebuah undang-undang, sekalipun bersumber dari syariat, bukanlah syariat. Dalam ungkapan yang berbeda, manusia (creation), dengan seluruh kekayaan tekstual dan non-tekstual, dapat dan harus menghasilkan hak yang mendasar dan hukum yang terorganisir (arganizational law) yang mampu menghargai dan menjunjung tinggi hak tersebut. Tapi hak dan hukum itu tidak mencerminkan kesempurnaan ciptaan Allah SWT. Berdasarkan paradigma tersebut, demokrasi merupakan sebuah sistem yang memadai dari perspektif Islam karena selain mengungkapkan sisi penting manusia–yaitu statusnya sebagai khalifah Allah SWT–pada saat yang sama juga mencegah negara bertindak sebagai juru bicara Allah SWT dengan meletakkan otoritas tertinggi di tangan rakyat, bukan di tangan ulama. Di samping itu pendidik moral memiliki peran yang serius, karena mereka harus siap membimbing masyarakat untuk mendekati Allah SWT. Tapi kehendak kelompok mayoritas sekalipun–sebaik apapun moralitas mereka–tidak dapat mewakili kehendak Allah SWT. Dan dalam kasus yang paling buruk–jika kelompok mayoritas lepas dari bimbingan para ulama, jika kelompok mayoritas bersikeras untuk menyimpang dari jalan Allah SWT, tapi masih menghormati hak-hak dasar individu, termasuk hak untuk mempertimbangkan penciptaan dengan hati-hati dan menyeru pada jalan Allah SWT–individu-individu yang membentuk kelompok mayoritas itu tetap harus bertanggung jawab kepada Allah SWT di akhirat kelak.

D. Konstribusi Agama dalam Kehidupan Berpolitik

Konstribusi agama dalam kehidupan politik tentu bukan berarti agama itu sendiri melainkan pemikir-pemikir yang beragama tersebut dalam melaksanakan kehidupan pilitiknya. Realita yang ada saat ini banyak sekali pemikir yang menyampaikan teori-teori Islam sebagai alternatif pemecahan masalah kenegaraan, baik bersifat pribadi maupun dalam wadah kelembagaan organisasi.

Di antara wadah organisasi keagamaan yang ada di Indonesia adalah Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Islam (PERSIS), dan organisasi-organisasi umat Islam lainnya. Wadah-wadah organisasi tersebut sangat aktif dalam membantu penyelesaian masalah-masalah politik di negara tercinta ini, bahkan Nahdhatul Ulama ternyata tidak hanya di dalam negeri bahkan ikut membantu penyelesaian di luar negeri seperti di Thailand.

Islam melalui sumber hukumnya yakni al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW tidak menjelaskan secara shorih atau jelas tentang sistem politik termasuk di dalamnya mengenai bentuk pemerintahan tertentu. Tapi Alquran jelas-jelas menyebutkan seperangkat nilai sosial dan politis yang penting bagi sebuah pemerintahan Islam. Setidaknya ada tiga nilai Qurani berikut ini memiliki signifikansi khusus yakni mencapai keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu (Q.S. 49:13, 11:119); membangun sebuah sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis; dan melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial (Q.S. 6:12, 54; 21:77; 27:77; 45:20).

E. Peranan Agama dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Islam adalah agama pemersatu umat –bukan seperti apa yang dikumandangkan oleh sebagian orang-, begitu pun dengan agama-agama lain yang ada di dunia. Karena pada prinsipnya, setiap agama akan mengamalkan kebaikan menurut fersinya masing-masing.

Islam, sebagai salah satu agama yang ada dunia dan di Indonesia merupakan jumlah pemeluk yang terbesar merupakan modal dari pemersatu bangsa. Islam di Indonesia mempunyai beberapa organisasi yang mengembangkan pemikiran-pemikiran Islam.

Sebagaimana dungkapkan sebelumnya bahwa Islam mempunyai banyak organisasi di Indonesia, antara lain Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, Persatuan Umat Islam, dan lain-lain. Organisasi-organisasi tersebut, seringkali menjadi pemersatu bagi umat manusia di Indonesia. Organisasi tersebut masing-masing membina dan mengarahkan para anggotanya untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Organisasi-organisasi tersebut mengakar dari kampung atau desa sampai di tingkat pusat, seperti Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) yang berkedudukan di Jakarta, PWNU (Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama) berkedudukan di Propinsi, Pengurus Cabang sampai dengan Pengurus ranting.

Pada level organisasi tersebut banyak kegiatan-kegiatan yang dijadikan sebagai ajang pemersatu umat atau anggota yang pada akhirnya bermuara pada persatuan dan kesatuan bangsa. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain pengajian rutin atau juga Bahtsul Matsail.

F. Evaluasi

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad Ushul al-Fiqh, Kairo, Dar al-Fikr al-‘Araby, 1958,

Ahmad, Sihabudin, Nashâihul ‘Ibâd, Indonesia : Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, T.th

Ali Nurdin, Ahmad, Politik Islam tidak Monolitik, www.yahoo.com,

Asyarie, Musa, Manusia pembentuk kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: LESFI, 1992

Biyanto, Pemikiran William James Tentang Agama, Wikipedia.com,2009

Khalaf, Abdul Wahab Ushul al-Fiqh , Kairo, Dar al-Qalam, 1978, cet., ke-12,

Moechidin, Pendidikan Agama Islam (Diktat), Serang: Cahaya Ilmu, 2006

Nurdin, Muslim dkk., Moral dan Kognisi Islam, Bandung: PT. Alrabita, 1995

Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002, volume 11

Syamsuri, A. Siddiq, Mimbar Penyuluhan Aqiedah, Syari’ah, Akhlak, Bandung: Depag Jabar, 1976, Jilid II.

TIM Dosen MPK PAI, Islam Progresif, Serang, Untirta Press, 2005, cet.II,

Zulkabir dkk., Islam konseptual dan kontekstual, Bandung: ITQAN,1993

PAI 1 bab 5

BAB V

Iptek, Seni, dan Budaya Akademik

A. Pengantar

Seorang muslim akan menjadi muslim yang sempurna apabila telah dapat memadukan antara ilmu pengetahuan yang telah dipahaminya dalam diinternalisasi dalam dirinya dan akhirnya dapat dilaksanakan dalam perbuatan sehari-hari. Kita sama-sama maklum, bahwa untuk memperoleh ilmu banyak metode yang ditempuh. Namun jika sudah menjadi ilmu maka saatnyalah harus segera dilaksanakan. Sebagaiindikasi bahwa manfaat atau tidaknya ilmu yang telah dipelajarinya.

Al-Ghozali mengungkapkan bahwa setiap manusia musnah kecuali yang berilmu pengetahuan, semua yang berilmu pengetahuan musnah kecuali yang mengamalkan ilmunya, dan manusia yang mengamalkan ilmunya musnah kecuali yang ikhlas dalam mengamalkan ilmu tersebut. Ungkapan al-Ghozali ini dapat kita jadikan pijakan bahwa iman, ilmu, dan amal merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalm pandangan Islam.

B. Iman, Iptek, dan Amal sebagai Kesatuan

Iman dipahami sebagai awal pijakan manusia untuk dapat bertindak, apakah tindakannya dapat dinilai oleh Allah atau tidak. Bagi seorang muslim nyatalah bahwa jika tidak beriman maka segala amalnya tertolak oleh Allah SWT. Jadi, iman sangat penting dalam aktifitas seorang muslim. Lalu apakah yang dimaksud dengan iman? Dalam literatur Islam yang dimaksud dengan iman adalah membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan. Jadi ada tiga dimensi dalam pengertian iman, yakni percaya, ikrar, dan amal.

Seorang yang telah beriman dengan benar maka ia akan teguh pendiriannya karena ia meyakini bahwa Allah SWT akan selalu melindungi atau memeliharanya (QS.2:137), menolongnya (QS.2:214), memperteguh pendiriannya (QS.8:11). Namun perlu diingat bahwa Allah SWT juga akan menguji keimanan seseorang dengan ujian yang cukup berat tentunya. Ujian yang Allah SWT berikan tentu dalam rangka memperkuat keimanannya jika dapat bertahan atas ujian tersebut atau bahkan sebaliknya.

Iman dalam ajaran Islam mempunyai dua cabang yakni aqidah dan Islam. Aqidah berisi hal-hal yang harus diimani yakni dengan enam rukun iman, sedangkan islam merupakan perwujudan yang tampak oleh manusia dalam rangka mengaktualisasikan iman tersebut di dunia fana ini. Islam tentu dengan lima rukun Islam yang dipahami banyak muslim. Selain kelima rukun Islam tersebut, Islam juga mengharamkan harta dan darah bagi kaum mukmin.

Iman dalam rangka pengaktualisasiannya akan banyak mendapat gangguan dari musuh-musuh orang yang beriman. Hal-hal yang dapat merusak keimanan seseorang adalah:

kufur atau kafir (QS.47:32) ,

¨bÎ) z`ƒÏ%©!$# (#rãxÿx. (#r|¹ur `tã È@Î6y «!$# (#q%!$x©ur tAqß§9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt7s? ãNßgs9 3yçlù;$# `s9 (#rŽÛØtƒ ©!$# $\«øx© äÝÎ6ósãŠyur óOßgn=»yJôãr& ÇÌËÈ

“Sesungguhnya orang-orang kafir dan (yang) menghalangi manusia dari jalan Allah serta memusuhi Rasul setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, mereka tidak dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun. dan Allah akan menghapuskan (pahala) amal-amal mereka”.

syirik (QS.9:1),

×ouä!#tt/ z`ÏiB «!$# ÿ¾Ï&Î!qßuur n<Î) tûïÏ%©!$# N?yg»tã z`ÏiB tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÊÈ

“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan RasulNya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) Telah mengadakan perjanjian (dengan mereka)”.

nifaq (QS.63:7),

ãNèd tûïÏ%©!$# tbqä9qà)tƒ Ÿw (#qà)ÏÿZè? 4n?tã ô`tB yYÏã ÉAqßu «!$# 4_®Lym (#qÒxÿZtƒ 3 ¬!ur ßûÉî!#tyz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur £`Å3»s9ur tûüÉ)Ïÿ»uZãKø9$# Ÿw tbqßgs)øÿtƒ ÇÐÈ

“Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)." padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami”.

bid’ah (QS.57:27),

§NèO $uZøŠ¤ÿs% #n?tã NÏdÌ»rO#uä $oYÎ=ßãÎ/ $uZøŠ¤ÿs%ur |¤ŠÏèÎ/ Èûøó$# zOtƒötB çm»oY÷s?#uäur Ÿ@ÅgUM}$# $oYù=yèy_ur Îû É>qè=è% šúïÏ%©!$# çnqãèt7¨?$# Zpsùù&u ZpuH÷quur ºp§ÏR$t6÷duur $ydqããytGö/$# $tB $yg»uZö;tGx. óOÎgøŠn=tæ žwÎ) uä!$tóÏGö/$# ÈbºuqôÊÍ «!$# $yJsù $ydöqtãu ¨,ym $ygÏFtƒ$tãÍ ( $oY÷s?$t«sù tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä öNåk÷]ÏB óOèdtô_r& ( ׎ÏWx.ur öNåk÷]ÏiB tbqà)Å¡»sù ÇËÐÈ

“Kemudian kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul kami dan kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan kami berikan kepadanya Injil dan kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah[tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara] padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik”.

sihir (QS.4:51),

öNs9r& ts? n<Î) šúïÏ%©!$# (#qè?ré& $Y7ŠÅÁtR z`ÏiB É=»tGÅ6ø9$# tbqãYÏB÷sムÏMö6Éfø9$$Î/ ÏNqäó»©Ü9$#ur tbqä9qà)tƒur tûïÏ%©#Ï9 (#rãxÿx. ÏäIwàs¯»yd 3y÷dr& z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä ¸xÎ6y ÇÎÊÈ

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? mereka percaya kepada jibt dan thaghut[syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah s.w.t.], dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman”.

dan meramal nasib (QS.36:19,5:3).

(#qä9$s% Nä.âŽÈµ¯»sÛ öNä3yè¨B 4 ûÉîr& Oè?ôÅe2èŒ 4 ö@t/ óOçFRr& ×Pöqs% šcqèùÍŽô£B

“Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu adalah Karena kamu sendiri. apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas".

tA¨tR šøn=tã |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 tû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ tAtRr&ur sp1uöq­G9$# Ÿ@ÅgUM}$#ur ÇÌÈ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat 145], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing yaitu dengan: lakukanlah, Jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[masa, yaitu: masa haji wada', haji terakhir yang dilakukan oleh nabi Muhammad s.a.w] orang-orang kafir Telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat Ini jika terpaksa.] Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Iman yang dimiliki seseorang kadang naik (yazid/ bertambah) atau kadang pula menurun atau berkurang (yanqus). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat 9/at-Taubah:124, al-Fath/48:4).

#sŒÎ)ur !$tB ôMs9ÌRé& ×ouqß Oßg÷YÏJsù `¨B ãAqà)tƒ öNà6ƒr& çmø?yŠ#y ÿ¾ÍnÉ»yd $YZ»yJƒÎ) 4 $¨Br'sù šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNßgø?yŠ#tsù $YZ»yJƒÎ) óOèdur tbrãϱö;tGó¡o

“Dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" adapun orang-orang yang beriman, Maka surat Ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira”.

uqèd üÏ%©!$# tAtRr& spoYÅ3¡¡9$# Îû É>qè=è% tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#ÿrߊ#yŠ÷zÏ9 $YZ»yJƒÎ) yì¨B öNÍkÈ]»yJƒÎ) 3 ¬!ur ߊqãZã_ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 tb%x.ur ª!$# $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÍÈ

“Dia-lah yang Telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang Telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi[penolong yang dijadikan Allah untuk orang-orang mukmin seperti malaikat-malaikat, binatang-binatang, angin taufan dan sebagainya] dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Seseorang yang teguh keimanannya akan berusaha semaksimal mungkin untuk selalu meningkatkan kadar keimanannya sekali pun banyak hambatan yang merintanginya.

Ilmu pengetahuan ada yang langsung berhubungan dengan ibadah mahdhah dan ada juga yang berhubungan dengan manusia secara umum. Ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan ibadah mahdhah adalah ilmu yang berhubungan dengan shalat, zakat, puasa, haji, dan akhwalusy Syahsiyah dalam berkeluarga. Sedangkan ilmu yang berhubungan dengan manusia secara umum seperti ilmu teknologi, ilmu strategi perang, ilmu politik, dan lain-lain.

Kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam sangatlah penting karena Allah SWT sangat menghargai manusia yang berilmu pengetahuan. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengajak kepada manusia untuk berpikir dan berdiskusi tentang perbedaan orang yang berilmu pengetahuan dan yang tidak berilmu pengetahuan.

Amal adalah bentuk dari realisasi iman terhadap Allah SWT. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwa tanpa pengamalan atas ilmu yang diperolehnya bisa jadi ilmu yang diterimanya dapat dinyatakan tidak bermanfaat. Karena pengamalan ilmu adalah hal yang memang tidak mudah untuk kita lakukan, karena untuk mengamalkan ilmu banyak faktor yang menghambat terpenuhinya keinginan untuk mrngamalkan ilmu tersebut.

C. Kewajiban Menuntut dan Mengamalkan Ilmu

Kewajiban menuntut ilmu sebagaimana dijelaskan di atas adalah fardhu bagi setiap muslim. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat QS. Al-‘Alaq/96: 1-5 dan at-Taubah:122. Pada QS.96:1-5, jelas sekali bahwa Allah SWT memerintahkan manusia untuk membaca. Membaca adalah salah satu simbul dari menuntut ilmu pengetahuan. Berdasarkan kaidah ushul fiqh bahwa al-ashlu fi al-amri lilwujub, maka dengan demikian mencari ilmu adalah wajib hukumnya. Selain itu, Rasulullah SAW bersabda bahwa, menuntut ilmu itu adalah wajib bagi muslim.

Seseorang yang telah memperoleh ilmu baginya memperoleh tuntutan untuk mengamalkan ilmu tersebut. Karena dengan pengamalan itu tersebut, maka ia akan memperoleh derajat tinggi di sisi Allah SWt dan ilmunya bermanfaat. Sedangkan orang yang berilmu dan melupakan ilmunya dalam hal pengamalannya mendapat teguran dari Allah SWT sebagaimana dalam QS.2.44.

tbrâßDù's?r& }¨$¨Y9$# ÎhŽÉ9ø9$$Î/ tböq|¡Ys?ur öNä3|¡àÿRr& öNçFRr&ur tbqè=÷Gs? |=»tGÅ3ø9$# 4 Ÿxsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÍÍÈ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?

(Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat tersebut di atas dari Abi Shaleh Dari Ibn Abbas tentang kaum Yahudi Madinah yang pada waktu itu berkata kepada mantunya, kaum kerabatnya dan saudara sesusunya yang telah masuk agama Islam: "Tetaplah kamu pada agama yang kamu anut (Islam) dan apa-apa yang diperintahkan oleh Muhammad, karena perintahnya benar." Ia menyuruh orang lain berbuat baik, tapi dirinya sendiri tidak mengerjakannya. Diriwayatkan oleh al-Wahidi dan ats-Tsa'labi dari al-Kalbi).

Simpulannya jelaslah bahwa kewajiban menuntut ilmu sekaligus dibarengi dengan kewajiban mengamalkannya. Jika Allah SWT menuntut suatu kewajiban pengamalan ilmu, itu berarti apabila tidak dilaksanakannya menolak atau menghindarkan diri dari keimanannya kepada Allah SWT.

D. Budaya Akademik

Budaya akademik adalah suatu tradisi ilmiah di perguruan tinggi yang bersifat menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah dan kekebasan mimbar. Budaya akademik antara lain diskusi, kajian-kajian ilmiah para dosen dan mahasiswa, penyampaian pendapat melalui mimbar bebas atau demonstrasi, orasi ilmiah, dan lain-lain. Selain itu, kampus sudah merupakan kewajiban untuk melakukan tri dharma perguruan tinggi yang di dalamnya merupakan budaya akademik secara teratur.

Sudah merupakan tradisi bagi para dosen dan mahasiswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada budaya-budaya akademik seperti di atas. Di antara yang harus dilakukan untuk mengarah kajian-kajian ilmiah adalah sejak awal para mahasiswa dilatih dan dibimbing untuk membuat karya ilmiah. Bentuk karya ilmiah yang sederhana seperti membuat laporan-laporan kegiatan, makalah untuk diskusi kelas, dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilakukan sebagai tugas mandiri atau kelompok. Untuk tugas kelompok atau mandiri sebaiknya ada kontrol yang cukup dari dosen atau tutor –bagi yang menggunakan sistim tutorial-, karena ada kebiasaan yang kurang bagus yakni ada di antara mereka yang kurang serius.

E. Etos Kerja

Etos kerja adalah semangat kerja yang berujung pada suatu kinerja seseorang dalam aktivitas kesehariannya. Islam sangat tegas dan jelas memerintahkan umat Islam untuk mempunyai etos kerja yang keras dan pantang menyerah seraya berharap kepada Allah swt agar yang diusahakannya berhasil. Indikator orang-orang yang mempunyai etos kerja tinggi adalah selalu berbuat dengan sistematis dan efisien serta efektif.

Beberapa ayat yang memerintahkan agar kita mempunyai etos kerja yang tinggi adalah:

QS.Al-Baqoroh:148

9e@ä3Ï9ur îpygô_Ír uqèd $pkŽÏj9uqãB ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 tûøïr& $tB (#qçRqä3s? ÏNù'tƒ ãNä3Î/ ª!$# $·èŠÏJy_ 4 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖƒÏs% ÇÊÍÑÈ

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

QS.Al-Maidah:48

!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ

“Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya] terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu[umat nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya], kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu.”

QS.Al-Hadid:21

(#þqà)Î/$y 4n<Î) ;otÏÿøótB `ÏiB óOä3În/§ >p¨Yy_ur $pkÝÎötã ÇÚöyèx. Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ôN£Ïãé& šúïÏ%©#Ï9 (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î#ßâur 4 y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmÏ?÷sム`tB âä!$t±o 4 ª!$#ur rèŒ È@ôÒxÿø9$# ÉOÏàyèø9$# ÇËÊÈ

“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar”.

QS. Al-Insyirah:1-7

óOs9r& ÷yuŽô³nS y7s9 x8uô|¹ ÇÊÈ $uZ÷è|Êurur šZtã x8uøÍr ÇËÈ üÏ%©!$# uÙs)Rr& x8tôgsß ÇÌÈ $uZ÷èsùuur y7s9 x8tø.ÏŒ ÇÍÈ ¨bÎ*sù yìtB ÎŽô£ãèø9$# #·Žô£ç ÇÎÈ ¨bÎ) yìtB ÎŽô£ãèø9$# #ZŽô£ç ÇÏÈ #sŒÎ*sù |Møîtsù ó=|ÁR$$sù ÇÐÈ

“Bukankah kami Telah melapangkan untukmu dadamu?, Dan kami Telah menghilangkan daripadamu bebanmu, Yang memberatkan punggungmu[kesusahan-kesusahan yang diderita nabi Muhammad s.a.w. dalam menyampaikan risalah]?. Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu[meninggikan derajat dan mengikutkan namanya dengan nama Allah dalam kalimat syahadat, menjadikan taat kepada nabi termasuk taat kepada Allah dan lain-lain], Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.7. Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain[sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) telah selesai berdakwah Maka beribadatlah kepada Allah; apabila kamu Telah selesai mengerjakan urusan dunia Maka kerjakanlah urusan akhirat, dan ada lagi yang mengatakan: apabila Telah selesai mengerjakan shalat berdoalah]”.

F. Tanggung Jawab Ilmuwan dan Seniman

Ilmuwan adalah sebutan bagi orang-orang yang mempunyai banyak ilmu dan berprofesi untuk ikut mengembangkan keilmuannya. Keilmuan yang telah dihasilkannya harus dapat dipertanggungjawabkan di dunia dan diakhirat.

G. Evaluasi

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Serang, Serang/Banten, Indonesia
saya seorang pendidik yang memang sejak SD tertarik pada profesi guru, karenanya setelah menamatkan MTsN Pemalang 1987, mengambil SLTA di PGAN Pekalongan tamat 1990, selanjutnya kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Tarbiyah PAI selesai 1995, dan mengambil pasca sarjana prodi Magister Penelitian dan Evaluasi Pendidikan di PPs Uhamka Jakarta selesai 2006. Pendidik adalah pekerjaan yang mulia sesuai sunnah Rasulullah saw., karena itu maka saya sangat senang menjadi pendidik.